Saya telah bekerja di perusahaan tempat Kursus Bahasa Inggris selama 10 tahun dan 10 bulan (saya mulai kerja tahun 1998 bulan April). Sekarang gaji saya sebesar Rp 3.100.000. Tiga bulan terakhir ini tepatnya dari bulan November 2008, pemilik perusahaan selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk menurunkan gaji saya. Sebenarnya General Manager tidak menyetujui keputusan yang diambil oleh pemilik perusahaan. Tapi sayang General Manager tidak punya nyali untuk melakukan itu. Karena dia sendiri hanyalah orang gajian sama seperti saya. Salah satu cara pemilik lakukan adalah dengan menjadikan saya free-lance teacher yang hanya digaji kalau saya mengajar kelas, padahal mulai dari tahun 2002 saya sudah diangkat sebagai karyawan tetap dengan gaji sebesar Rp 2.250.000. Selama 4 tahun pertama, tahun 1998 - 2002, saya hanya menjadi free-lance teacher. Hal tersebut tentu membuat saya sangat kecewa dan saya berusaha untuk mempertahankan gaji saya yang sebesar Rp 3.100.000,- itu. Sampai saat ini saya masih berhasil mempertahankan gaji saya tersebut dengan segala argument kuat yang saya berikan kepada pemilik. Kejadian ini sebenar yang kedua kalinya. Kejadian yang sama pertama terjadi tahun 2006, pada saat itu saya menangis didepan General Manager untuk resign (berhenti) tetapi dia tidak mengabulkan permintaan saya. Pada saat itu gaji saya masih Rp2.500.000. Dia membujuk saya untuk dipindahkan ke cabang terdekat di kota Makassar dan saya dengan berat hati menyetujuinya. Pada tahun 2007 bulan Mei, General Manager menarik lagi saya ke Kantor Pusat dengan jabatan sebagai Teaching Coordinator, sebab dia tahu kapasitas, kemampuan dan loyalitas saya diperusahaan. Sekarang kejadian tersebut terulang kembali pada tanggal 20 Feb 2009, dan saya dengan tegas dan lantang berbicara langsung dihadapan Pemilik Perusahaan, General Manager dan Manager untuk BERHENTI pada saat itu juga. Pada saat itu, saya sangat kecewa mendapat jawaban dari Pemilik yang melarang saya untuk BERHENTI. Ternyata dia masih sangat membutuhkan saya, hanya saja yang saya tidak terima adalah caranya yang selalu ingin menurunkan gaji saya yang telah ditetapkan oleh pihak management, dalam hal ini General Manager. Sekarang ini perusahaan membuatkan saya kontrak baru dengan gaji yang sama (Rp 3.100.000) untuk selama 3 bulan yang berlaku efektif dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2009. Dalam kontrak yang akan saya jalani tiga bulan kedepan tertulis bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja, baik berhenti atas kemauan saya sendiri atau pemilik memberhentikan saya maka saya akan mendapatkan pesangon sebanyak 3 bulan gaji saja. Pertanyaan saya sekarang adalah: Kalau saya berhenti sendiri karena sudah tidak tahan dengan perlakuan si pemilik perusahaan, apakah saya mendapatkan pesangon? Dengan adanya kejadian seperti ini, apakah saya harus bertahan terus bekerja di tempat seperti ini (dimana seorang General manager dan manager tidak punya kekuatan sebab didikte oleh pemilik)? Atau saya harus menunggu sampai dipecat untuk mendapatkan pesangon sesuai dengan yang tercantum dalam UU no 13/2003. Sebab saya tidak mau pengabdian saya selama 11 tahun sia-sia. Rekan-rekan saya mengusulkan untuk bertahan saja dulu, dengan alasan bahwa jika saya berhenti maka saya tidak mendapatkan pesangon sesuai dengan UU no 13/2003. Apakah nasihat dan pendapat rekan-rekan saya harus saya turuti, sementara saya sudah tidak tahan dengan perlakukuan pemilik perusahaan yang seenaknya saja memperlakukan saya dan semua karyawanya seperti itu? Saya kira itu saja pertanyaan saya. Saya ucapkan banyak terima kasih atas jawaban yang diberikan. Semoga saya mendapatkan jawaban yang bisa membuat saya lebih tenang dalam bekerja nantinya. Catatan: Satu hal yang penting untuk diketahui adalah meskipun kami karyawan (pegawai) tetap, tetapi kami selalu harus menandatangani kontrak kerja setiap tahun. Apakah hal ini dibenarkan? Kami, mulai dari karyawan front office, bagian administrasi dan guru-guru permanen serta semua karyawan tetap seperti saya hanya mendapatkan cuti sebanya 5 hari kerja. Alasanya sebagian besar dari libur sudah terpakai pada saat libur lebaran dan libur akhir tahun. Ini jelas sudah melanggar aturan ketenaga kerjaan. Dan kalau kami tidak mengambil cuti atau lupa cuti, perusahaan tidak menganti dengan uang. Perusahaan kami memiliki 5 cabang masing-masing di Makassar sendiri ada satu, Manado, Palu, Balikpapan dan Samarinda. Pemilik selalu mengatakan bahwa ini adalah perusaah kecil. Apakah ini benar? Perusahaan juga nampaknya tidak akan memberikan uang pensiunan bagi karyawan. Kami pernah dijanjikan untuk itu tetapi pemilik berubah pikiran dan tidak pernah merealisasikannya.
Senin, 09 Januari 2017
BOLEHKAH ATASAN MENGATAKAN, ANDA SAYA PECAT,, ???
1. Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Akan tetapi, jika ada pengusaha yang mengatakan demikian, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”).
Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang. Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih lanjut apa alasannya sehingga atasan Anda mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja yang bersangkutan. Jika ungkapan tersebut disebabkan pekerja dianggap tidak menjalankan perintah atasan, maka pengusaha dapat menjatuhkan sanksi kepada pekerja sebagaimana tertuang dalam peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) dan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau bahkan PHK (simak juga artikel Dalil PHK yang mengada-ada).
Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja karena alasan antara lain:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, baik pihak pengusaha maupun pekerja malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK. Jika segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Apabila perundingan tidak menghasilkan persetujuan juga, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat untuk melakukan PHK yaitu, “bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.” Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini silakan simak artikel Sanksi Berurutan.
Jadi, jelas bahwa pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja hanya dengan mengatakan “anda saya pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu pengadilan hubungan industrial (“PHI”) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”). Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pengusaha mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi PHK.
2. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Karena itu, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pengusaha yang melakukan hal tersebut.
Apabila PHK yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
3. Jika pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan pengusaha kepada instansi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke PHI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 2/2004.
Demikian dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2015 tentang Pengupahan
pada pokoknya adalah tentang tidak dibayarnya gaji Anda dan teman-teman
pekerja lain untuk bulan Desember. Hal tersebut bertentangan dengan
aturan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sebelumnya, ada baiknya kita melihat definisi pekerja yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan di bawah ini:
“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Dengan
demikian, “bekerja” dan “upah” adalah dua hal yang saling berkaitan
satu sama lainnya, sehingga upah merupakan hak Anda yang harus
diperjuangkan selama Anda menjalankan tugas sebagai pekerja.
Hal tersebut juga didukung ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan. Di samping itu, terdapat juga
pengecualian-pengecualian terhadap pekerja yang tidak melakukan
pekerjaan namun disebabkan alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan,
seperti misalnya karena sakit, dll. Dengan demikian, apabila selama
Desember tersebut Anda masih melaksanakan pekerjaan, maka Anda dan
teman-teman Anda berhak atas upah yang belum dibayarkan tersebut.
Apabila
perusahaan tempat Saudara bekerja tidak memberikan upah atau terlambat
membayar upah Anda, maka perusahaan tersebut dapat dikenakan denda.[1]
Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”) diatur bahwa Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda, dengan ketentuan:[2]
a. mulai
dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya
Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari
keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b. sesudah
hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda
keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu
persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan
tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya
dibayarkan; dan
c. sesudah
sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda
keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah
bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
Perlu diketahui bahwa pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.[3]
Dari
uraian di atas jelas bahwa upah merupakan komponen yang penting dan
pokok dalam hubungan industrial, sehingga UU Ketenagakerjaan dan PP
78/2015 memberikan perlindungan atas upah. Upaya yang dapat Anda dan
teman-teman Anda lakukan dalam hal ini adalah menempuh melalui jalur
atau cara-cara sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(“UU PPHI”). Dasar perselisihan antara Anda dengan pengusaha adalah
perselisihan hak. Yang dimaksud dengan perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU PPHI adalah:
“Perselisihan
hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama”.
Jalur
atau cara yang Saudara dapat tempuh berdasarkan ketentuan UU PPHI dalam
upaya penyelesaian perselisihan mengenai hak atas upah antara lain:
1. Jalur Bipartit
adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yang berupa perselisihan
hak antara pekerja dengan pengusaha. Penyelesaian perselisihan melalui
bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari.[4]
Jika
dalam perundingan bipartit dicapai kesepakatan penyelesaian, maka
dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.[5] Apabila
perundingan Bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka
penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur Tripartit yaitu dengan
mendaftarkan ke Suku Dinas atau Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
di wilayah kabupaten atau kotamadya wilayah tempat kerja Anda.[6]
2. Jalur Tripartit adalah
merupakan suatu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan
pengusaha, dengan ditengahi oleh mediator yang berasal dari Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Untuk perselisihan hak, yang dapat
dilakukan adalah melakukan mediasi. Mediasi Hubungan Industrial adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[7]
Apabila
mediasi berhasil, maka hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan
oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.[8] Jika tidak terdapat titik temu, maka Mediator menuangkan hasil perundingan dalam suatu anjuran tertulis[9] dan apabila
salah satu pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak dapat
melakukan gugatan perselisihan pada Pengadilan Hubungan Industrial.
3. Jalur Pengadilan Hubungan Industrial
adalah jalur yang ditempuh oleh pekerja/pengusaha melalui mekanisme
gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang
mewilayahi tempat kerja Anda dengan dasar gugatan Perselisihan Hak
berupa upah pekerja yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.[10]
Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Lebih jauh simak artikel Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum.
Selain UU Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum (“Permenaker
7/2013”) juga merupakan payung hukum bagi perlindungan upah
pekerja/buruh serta bentuk dan upaya untuk mewujudkan penghasilan yang
layak bagi pekerja.
Di samping Permenaker 7/2013, peraturan pelaksana lain yang juga mengatur mengenai upah minimum dapat kita temui dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak ("Permenaker 13/2012").
Mengenai
upah minimum, perlu kita ketahui bahwa upah minimum hanya berlaku bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.[1]
Bagaimana
dengan pekerja yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun? UU
Ketenagakerjaan telah menentukan pengusaha menyusun struktur dan skala
upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi serta secara berkala melakukan peninjauan upah dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.[2] Peninjauan upah ini dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.[3] Peninjauan Upah ini diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.[4]
Mudahnya, pekerja dan pengusaha diminta untuk merundingkan secara
bipartit mengenai upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau
lebih.[5]
Dari
ketentuan tersebut memang masa kerja menjadi salah satu pertimbangan
dalam menyusun struktur dan skala upah. Namun, selain masa kerja, juga
ada faktor lain yaitu golongan, jabatan, pendidikan dan kompetensi yang
juga menjadi faktor penentu struktur dan skala upah.
Dengan
demikian, memang peraturan perundang-undangan tidak menentukan bahwa
mutlak masa kerja akan menjadi penentu bahwa upah seorang pekerja akan
lebih besar dari pekerja yang masa kerjanya lebih pendek. Mengingat
masih ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam
menentukan struktur dan skala upah yakni golongan, jabatan, pendidikan
dan kompetensi.
Mengutip penjelasan dalam salah satu artikel jawaban Umar Kasim berjudul Struktur dan Skala Upah, berdasarkan asas kebebasan berkontrak (beginselen der contractsvrijheid)
boleh saja dilakukan penyusunan struktur dan skala upah (dalam
Peraturan Perusahaan/”PP” atau Perjanjian Kerja Bersama/”PKB”) tanpa
mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang dilakukan sesuai
dengan mekanisme pembuatan PP atau PKB yakni adanya saran dan masukan
dari pekerja (dalam PP) atau disepakati di antara para pihak (dalam PKB)
dan tetap mengindahkan syarat sahnya perjanjian.
Jadi,
memang untuk pekerja yang sudah bekerja lebih lama seharusnya dilakukan
peninjauan upah. Sehingga tidak disamakan dengan pekerja yang bekerja
di bawah satu tahun atau baru masuk dalam hal kedua pekerja tersebut
bekerja dalam jabatan yang sama. Yang dapat kami sarankan adalah Anda
dapat mengajukan kepada pihak perusahaan agar besarnya upah Anda
ditinjau ulang dengan memperhatikan masa kerja, prestasi kerja dan
kompetensi Anda yang tentunya sudah berkembang dibandingkan dengan
pertama kali Anda bekerja.
Demikian jawaban dari kami, semoga membantu.
Sudah Lama Bekerja Tetapi Gaji Setara Karyawan Baru
Untuk
pekerja yang sudah bekerja lebih lama seharusnya dilakukan peninjauan
upah. Sehingga tidak disamakan dengan pekerja yang bekerja di bawah
satu tahun atau baru masuk dalam hal kedua pekerja tersebut bekerja
dalam jabatan yang sama. Yang dapat kami sarankan adalah Anda dapat
mengajukan kepada pihak perusahaan agar besarnya upah Anda ditinjau
ulang dengan memperhatikan masa kerja, prestasi kerja dan kompetensi
Anda yang tentunya sudah berkembang dibandingkan dengan pertama kali
Anda bekerja.
Minggu, 08 Januari 2017
UPAH MINIMUM PROPINSI ACEH 2017 PERATURAN GUBERNUR NO. 72 2016
PERATURAN GUBERNUR ACEH
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
PENETAPAN UPAH MINIMUM PROVINSI ACEH TAHUN 2017
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR ACEH,
Menimbang : a. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan sesuai dengan Kesepakatan Bersama Dewan Pengupahan pada tanggal 20 Oktober 2016, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh Tahun 2017;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Aceh Tahun 2017;
Mengingat :.1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747);
6. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja;
7. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum;
8. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 8, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 67);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG UPAH MINIMUM PROVINSI ACEH TAHUN 2017.
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2. Pemberi kerja adalah orang perorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak milik orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara.
5. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Pasal 2
Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh Tahun 2017 ditetapkan sebesar Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 3
Upah Minimum Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan upah bulanan terendah dengan waktu kerja 7 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi sistem kerja 6 hari per minggu dan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi sistem kerja 5 hari per minggu.
Pasal 4
Perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilarang mengurangi atau menurunkan upah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.
Pasal 5
Upah Minimum Provinsi Aceh berlaku bagi pekerja/buruh lajang dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 6
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 7
Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat mengajukan penangguhan.
Pasal 8
Bagi Pengusaha yang melanggar ketentuan Pembayaran Upah Minimum Provinsi Aceh Tahun 2017 dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan.
Pasal 9
Upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara Bipartit antara pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 10
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan Perundang-undangan.
Pasal 11
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 lebih rendah atau bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 12
Peraturan Gubernur ini berlaku bagi seluruh pekerja/buruh dan karyawan baik di Perusahaan Swasta, BUMN/BUMD dan usaha sosial lainnya.
Pasal 13
Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur ini dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Pasal 14
Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2015 tentang Upah Minimum Provinsi Aceh Tahun 2016 (Berita Daerah Aceh Tahun 2015 Nomor 60) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan Gubernur Aceh ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Aceh.
Ditetapkan di Banda Aceh
pada tanggal, 27 Oktober 2016
26 Muharram 1438
GUBERNUR ACEH,
TTD
ZAINI ABDULLAH
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal, 28 Oktober 2016
27 Muharram 1438
SEKRETARIS DAERAH ACEH,
TTD
DERMAWAN