MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Senin, 09 Januari 2017

BERHENTI ATAU DIBERHENTIKAN DI PERUSAHAAN

Saya telah bekerja di perusahaan tempat Kursus Bahasa Inggris selama 10 tahun dan 10 bulan (saya mulai kerja tahun 1998 bulan April). Sekarang gaji saya sebesar Rp 3.100.000. Tiga bulan terakhir ini tepatnya dari bulan November 2008, pemilik perusahaan selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk menurunkan gaji saya. Sebenarnya General Manager tidak menyetujui keputusan yang diambil oleh pemilik perusahaan. Tapi sayang General Manager tidak punya nyali untuk melakukan itu. Karena dia sendiri hanyalah orang gajian sama seperti saya. Salah satu cara pemilik lakukan adalah dengan menjadikan saya free-lance teacher yang hanya digaji kalau saya mengajar kelas, padahal mulai dari tahun 2002 saya sudah diangkat sebagai karyawan tetap dengan gaji sebesar Rp 2.250.000. Selama 4 tahun pertama, tahun 1998 - 2002, saya hanya menjadi free-lance teacher. Hal tersebut tentu membuat saya sangat kecewa dan saya berusaha untuk mempertahankan gaji saya yang sebesar Rp 3.100.000,- itu. Sampai saat ini saya masih berhasil mempertahankan gaji saya tersebut dengan segala argument kuat yang saya berikan kepada pemilik. Kejadian ini sebenar yang kedua kalinya. Kejadian yang sama pertama terjadi tahun 2006, pada saat itu saya menangis didepan General Manager untuk resign (berhenti) tetapi dia tidak mengabulkan permintaan saya. Pada saat itu gaji saya masih Rp2.500.000. Dia membujuk saya untuk dipindahkan ke cabang terdekat di kota Makassar dan saya dengan berat hati menyetujuinya. Pada tahun 2007 bulan Mei, General Manager menarik lagi saya ke Kantor Pusat dengan jabatan sebagai Teaching Coordinator, sebab dia tahu kapasitas, kemampuan dan loyalitas saya diperusahaan. Sekarang kejadian tersebut terulang kembali pada tanggal 20 Feb 2009, dan saya dengan tegas dan lantang berbicara langsung dihadapan Pemilik Perusahaan, General Manager dan Manager untuk BERHENTI pada saat itu juga. Pada saat itu, saya sangat kecewa mendapat jawaban dari Pemilik yang melarang saya untuk BERHENTI. Ternyata dia masih sangat membutuhkan saya, hanya saja yang saya tidak terima adalah caranya yang selalu ingin menurunkan gaji saya yang telah ditetapkan oleh pihak management, dalam hal ini General Manager. Sekarang ini perusahaan membuatkan saya kontrak baru dengan gaji yang sama (Rp 3.100.000) untuk selama 3 bulan yang berlaku efektif dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2009. Dalam kontrak yang akan saya jalani tiga bulan kedepan tertulis bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja, baik berhenti atas kemauan saya sendiri atau pemilik memberhentikan saya maka saya akan mendapatkan pesangon sebanyak 3 bulan gaji saja. Pertanyaan saya sekarang adalah: Kalau saya berhenti sendiri karena sudah tidak tahan dengan perlakuan si pemilik perusahaan, apakah saya mendapatkan pesangon? Dengan adanya kejadian seperti ini, apakah saya harus bertahan terus bekerja di tempat seperti ini (dimana seorang General manager dan manager tidak punya kekuatan sebab didikte oleh pemilik)? Atau saya harus menunggu sampai dipecat untuk mendapatkan pesangon sesuai dengan yang tercantum dalam UU no 13/2003. Sebab saya tidak mau pengabdian saya selama 11 tahun sia-sia. Rekan-rekan saya mengusulkan untuk bertahan saja dulu, dengan alasan bahwa jika saya berhenti maka saya tidak mendapatkan pesangon sesuai dengan UU no 13/2003. Apakah nasihat dan pendapat rekan-rekan saya harus saya turuti, sementara saya sudah tidak tahan dengan perlakukuan pemilik perusahaan yang seenaknya saja memperlakukan saya dan semua karyawanya seperti itu? Saya kira itu saja pertanyaan saya. Saya ucapkan banyak terima kasih atas jawaban yang diberikan. Semoga saya mendapatkan jawaban yang bisa membuat saya lebih tenang dalam bekerja nantinya. Catatan: Satu hal yang penting untuk diketahui adalah meskipun kami karyawan (pegawai) tetap, tetapi kami selalu harus menandatangani kontrak kerja setiap tahun. Apakah hal ini dibenarkan? Kami, mulai dari karyawan front office, bagian administrasi dan guru-guru permanen serta semua karyawan tetap seperti saya hanya mendapatkan cuti sebanya 5 hari kerja. Alasanya sebagian besar dari libur sudah terpakai pada saat libur lebaran dan libur akhir tahun. Ini jelas sudah melanggar aturan ketenaga kerjaan. Dan kalau kami tidak mengambil cuti atau lupa cuti, perusahaan tidak menganti dengan uang. Perusahaan kami memiliki 5 cabang masing-masing di Makassar sendiri ada satu, Manado, Palu, Balikpapan dan Samarinda. Pemilik selalu mengatakan bahwa ini adalah perusaah kecil. Apakah ini benar? Perusahaan juga nampaknya tidak akan memberikan uang pensiunan bagi karyawan. Kami pernah dijanjikan untuk itu tetapi pemilik berubah pikiran dan tidak pernah merealisasikannya.
Share:

BOLEHKAH ATASAN MENGATAKAN, ANDA SAYA PECAT,, ???

1.    Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Akan tetapi, jika ada pengusaha yang mengatakan demikian, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”).
 
Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
 
Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang. Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih lanjut apa alasannya sehingga atasan Anda mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja yang bersangkutan. Jika ungkapan tersebut disebabkan pekerja dianggap tidak menjalankan perintah atasan, maka pengusaha dapat menjatuhkan sanksi kepada pekerja sebagaimana tertuang dalam peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) dan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau bahkan PHK (simak juga artikel Dalil PHK yang mengada-ada).
 
Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja karena alasan antara lain:
a.    pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.    pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.    pekerja/buruh menikah;
e.    pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.     pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g.    pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.    pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.      karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.     pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
 
Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
 
Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, baik pihak pengusaha maupun pekerja malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK. Jika segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Apabila perundingan tidak menghasilkan persetujuan juga, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
 
Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat untuk melakukan PHK yaitu, “bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.” Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini silakan simak artikel Sanksi Berurutan.
 
Jadi, jelas bahwa pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja hanya dengan mengatakan “anda saya pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu pengadilan hubungan industrial (“PHI”) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”). Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pengusaha mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi PHK.
 
2.    Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Karena itu, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pengusaha yang melakukan hal tersebut.
 
Apabila PHK yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
 
3.    Jika pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan pengusaha kepada instansi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
 
Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke PHI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 2/2004.
 
Demikian  dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Putusan:


Share:

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2015 tentang Pengupahan

  pada pokoknya adalah tentang tidak dibayarnya gaji Anda dan teman-teman pekerja lain untuk bulan Desember. Hal tersebut bertentangan dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sebelumnya, ada baiknya kita melihat definisi pekerja yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan di bawah ini:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Dengan demikian, “bekerja” dan “upah” adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga upah merupakan hak Anda yang harus diperjuangkan selama Anda menjalankan tugas sebagai pekerja.

Hal tersebut juga didukung ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Di samping itu, terdapat juga pengecualian-pengecualian terhadap pekerja yang tidak melakukan pekerjaan namun disebabkan alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, seperti misalnya karena sakit, dll. Dengan demikian, apabila selama Desember tersebut Anda masih melaksanakan pekerjaan, maka Anda dan teman-teman Anda berhak atas upah yang belum dibayarkan tersebut.

Apabila perusahaan tempat Saudara bekerja tidak memberikan upah atau terlambat membayar upah Anda, maka perusahaan tersebut dapat dikenakan denda.[1]

Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”) diatur bahwa Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda, dengan ketentuan:[2]
a.    mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b.    sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c.    sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.

Perlu diketahui bahwa pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.[3]

Dari uraian di atas jelas bahwa upah merupakan komponen yang penting dan pokok dalam hubungan industrial, sehingga UU Ketenagakerjaan dan PP 78/2015 memberikan perlindungan atas upah. Upaya yang dapat Anda dan teman-teman Anda lakukan dalam hal ini adalah menempuh melalui jalur atau cara-cara sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (“UU PPHI”). Dasar perselisihan antara Anda dengan pengusaha adalah perselisihan hak. Yang dimaksud dengan perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU PPHI adalah:

“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.

Jalur atau cara yang Saudara dapat tempuh berdasarkan ketentuan UU PPHI dalam upaya penyelesaian perselisihan mengenai hak atas upah antara lain:

1.    Jalur Bipartit adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yang berupa perselisihan hak antara pekerja dengan pengusaha. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari.[4]

Jika dalam perundingan bipartit dicapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.[5] Apabila perundingan Bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur Tripartit yaitu dengan mendaftarkan ke Suku Dinas atau Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di wilayah kabupaten atau kotamadya wilayah tempat kerja Anda.[6]

2.    Jalur Tripartit adalah merupakan suatu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, dengan ditengahi oleh mediator yang berasal dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Untuk perselisihan hak, yang dapat dilakukan adalah melakukan mediasi. Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[7]

Apabila mediasi berhasil, maka hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.[8] Jika tidak terdapat titik temu, maka Mediator menuangkan hasil perundingan dalam suatu anjuran tertulis[9] dan apabila salah satu pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak dapat melakukan gugatan perselisihan pada Pengadilan Hubungan Industrial.

3.    Jalur Pengadilan Hubungan Industrial adalah jalur yang ditempuh oleh pekerja/pengusaha melalui mekanisme gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang mewilayahi tempat kerja Anda dengan dasar gugatan Perselisihan Hak berupa upah pekerja yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.[10]


Share:

Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Lebih jauh simak artikel Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum.
 
Selain UU Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum (“Permenaker 7/2013”) juga merupakan payung hukum bagi perlindungan upah pekerja/buruh serta bentuk dan upaya untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja.
 
Di samping Permenaker 7/2013, peraturan pelaksana lain yang juga mengatur mengenai upah minimum dapat kita temui dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak ("Permenaker 13/2012").
 
Mengenai upah minimum, perlu kita ketahui bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.[1]
 
Bagaimana dengan pekerja yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun? UU Ketenagakerjaan telah menentukan pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi serta secara berkala melakukan peninjauan upah dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.[2] Peninjauan upah ini dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.[3] Peninjauan Upah ini diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.[4] Mudahnya, pekerja dan pengusaha diminta untuk merundingkan secara bipartit mengenai upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih.[5]
 
Dari ketentuan tersebut memang masa kerja menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun struktur dan skala upah. Namun, selain masa kerja, juga ada faktor lain yaitu golongan, jabatan, pendidikan dan kompetensi yang juga menjadi faktor penentu struktur dan skala upah.
 
Dengan demikian, memang peraturan perundang-undangan tidak menentukan bahwa mutlak masa kerja akan menjadi penentu bahwa upah seorang pekerja akan lebih besar dari pekerja yang masa kerjanya lebih pendek. Mengingat masih ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam menentukan struktur dan skala upah yakni golongan, jabatan, pendidikan dan kompetensi.
 
Mengutip penjelasan dalam salah satu artikel jawaban Umar Kasim berjudul Struktur dan Skala Upah, berdasarkan asas kebebasan berkontrak (beginselen der contractsvrijheid) boleh saja dilakukan penyusunan struktur dan skala upah (dalam Peraturan Perusahaan/”PP” atau Perjanjian Kerja Bersama/”PKB”) tanpa mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang dilakukan sesuai dengan mekanisme pembuatan PP atau PKB yakni adanya saran dan masukan dari pekerja (dalam PP) atau disepakati di antara para pihak (dalam PKB) dan tetap mengindahkan syarat sahnya perjanjian.
 
Jadi, memang untuk pekerja yang sudah bekerja lebih lama seharusnya dilakukan peninjauan upah. Sehingga tidak disamakan dengan pekerja yang bekerja di bawah satu tahun atau baru masuk dalam hal kedua pekerja tersebut bekerja dalam jabatan yang sama. Yang dapat kami sarankan adalah Anda dapat mengajukan kepada pihak perusahaan agar besarnya upah Anda ditinjau ulang dengan memperhatikan masa kerja, prestasi kerja dan kompetensi Anda yang tentunya sudah berkembang dibandingkan dengan pertama kali Anda bekerja.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga membantu.
 
Share:

Sudah Lama Bekerja Tetapi Gaji Setara Karyawan Baru

Untuk pekerja yang sudah bekerja lebih lama seharusnya dilakukan peninjauan upah. Sehingga tidak disamakan dengan pekerja yang bekerja di bawah satu tahun atau baru masuk dalam hal kedua pekerja tersebut bekerja dalam jabatan yang sama. Yang dapat kami sarankan adalah Anda dapat mengajukan kepada pihak perusahaan agar besarnya upah Anda ditinjau ulang dengan memperhatikan masa kerja, prestasi kerja dan kompetensi Anda yang tentunya sudah berkembang dibandingkan dengan pertama kali Anda bekerja.
Share:

Minggu, 08 Januari 2017

UPAH MINIMUM PROPINSI ACEH 2017 PERATURAN GUBERNUR NO. 72 2016

PERATURAN GUBERNUR ACEH
NOMOR 72 TAHUN 2016

TENTANG

PENETAPAN UPAH MINIMUM PROVINSI ACEH TAHUN 2017

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR ACEH,

Menimbang : a. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 78                                   Tahun 2015 tentang Pengupahan dan sesuai dengan Kesepakatan Bersama Dewan                                 Pengupahan pada tanggal 20 Oktober 2016, perlu menetapkan Peraturan Gubernur                                tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh Tahun 2017;

                      b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu                                     menetapkan Peraturan Gubernur tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Aceh                               Tahun 2017;
Mengingat :.1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Propinsi Atjeh                            dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara                              Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik                              Indonesia Nomor 1103);
                     2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara                            Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor                                  4279);
                     3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran                                Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara                                Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir                                dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas                                      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran                                Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara                                  Republik Indonesia Nomor 5679);
                     4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran                                    Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara                                  Republik Indonesia Nomor 4633);
                     5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (Lembaran Negara                            Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik                              Indonesia Nomor 5747);
                     6. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah                                          Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan                                Pekerja;
                     7. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum;
                     8. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Aceh Tahun                            2014 Nomor 8, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 67);

                                                              MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG UPAH MINIMUM PROVINSI ACEH                                  TAHUN 2017.
                       


                                                                      Pasal 1
                         Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
                     1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan                            dalam bentuk lain.
                     2. Pemberi kerja adalah orang perorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan                            lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan                                  dalam bentuk lain.
                     3. Pengusaha adalah :
                     a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu                                        perusahaan milik sendiri;
                     b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri                                    menjalankan perusahaan bukan miliknya;
                     c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang dimaksud dalam huruf a dan                          huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
                    4. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang                                       mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak milik orang                               perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik                                     Negara.
                   5. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk                          tunjangan tetap.

                                                                     Pasal 2
                       Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh Tahun 2017 ditetapkan sebesar Rp 2.500.000,-                          (dua juta lima ratus ribu rupiah).

                                                                     Pasal 3
                       Upah Minimum Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan upah                        bulanan terendah dengan waktu kerja 7 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi                                  sistem kerja 6 hari per minggu dan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi sistem                          kerja 5 hari per minggu.

                                                                     Pasal 4
                       Perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan sebagaimana                                dimaksud dalam Pasal 2, dilarang mengurangi atau menurunkan upah sesuai dengan                            ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah                        Minimum.

                                                                      Pasal 5
                       Upah Minimum Provinsi Aceh berlaku bagi pekerja/buruh lajang dengan masa kerja                            kurang dari 1 (satu) tahun.

                                                                      Pasal 6
                       Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana                             dimaksud dalam Pasal 2.

                                                                      Pasal 7
                     Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud                          dalam Pasal 5 dapat mengajukan penangguhan.

                                                                      Pasal 8
                     Bagi Pengusaha yang melanggar ketentuan Pembayaran Upah Minimum Provinsi Aceh                        Tahun 2017 dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-                                    undangan.

                                                                      Pasal 9
                    Upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan                               secara Bipartit antara pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan                                     pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.

                                                                      Pasal 10
                    Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan                             pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan                     Perundang-undangan.

                                                                      Pasal 11
                   Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 lebih rendah atau                                  bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi                          hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut ketentuan Peraturan                    Perundang-undangan.

                                                                     Pasal 12
                  Peraturan Gubernur ini berlaku bagi seluruh pekerja/buruh dan karyawan baik di                                   Perusahaan Swasta, BUMN/BUMD dan usaha sosial lainnya.

                                                                     Pasal 13
                  Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur ini dilakukan oleh Pegawai                               Pengawas Ketenagakerjaan.

                                                                     Pasal 14
                  Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60                           Tahun 2015 tentang Upah Minimum Provinsi Aceh Tahun 2016 (Berita Daerah Aceh                           Tahun 2015 Nomor 60) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

                                                                     Pasal 15
                  Peraturan Gubernur Aceh ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017.
                  Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini                    dengan penempatannya dalam Berita Daerah Aceh.

                                                                                             Ditetapkan di Banda Aceh
                                                                                           pada tanggal, 27 Oktober 2016
                                                                                                  26 Muharram 1438

                                                                                                GUBERNUR ACEH,

                                                                                                          TTD

                                                                                                   ZAINI ABDULLAH
                 Diundangkan di Banda Aceh
                 pada tanggal, 28 Oktober 2016
                       27 Muharram 1438

               SEKRETARIS DAERAH ACEH,

                                   TTD

                           DERMAWAN
   
Share: