MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Senin, 19 Februari 2018

TUJUAN DAN FUNGSI DIDIRIKANNYA SERIKAT PEKERJA



Berdasarkan Undang- Undang 1945 pasal 4 menyebutkan bahwa tujuan didirikannya serikat buruh ialah untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Untuk mencapai tujuan serikat buruh sebagaimana yang dimaksutkan diatas, maka serikat buruh/ pekerja mempunyai fungsi sebagai berikut:
  1. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial.
  2. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
  3. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
  5. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan. 
Didalam sumber lain menyebutkan bahwa tujuan didirikannya serikat buruh ialah untuk:
  1. Melindungi dan membela hak dan kepentingan pekerja
  2. Memperbaiki kondisi – kondisi dan syarat – syarat kerja melalui perjanjian kerja bersama dengan manajemen/pengusaha
  3. Melindungi dan membela pekerja beserta keluarganya akan keadaan sosial dimana mereka mengalami kondisi sakit, kehilangan dantanpa kerja (PHK).
  4. Mengupayakan agar manajemen/pengusaha mendengarkan dan mempertimbangkan suara atau pendapat serikat pekerja sebelum membuat keputusan 
Peranan Serikat Pekerja

Dalam suatu perusahaan biasanya terdapat organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang dalam pelaksanannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan industrial. Serikat Pekerja dalam memecahkan persoalan menuju suatu kemajuan dan peningkatan yang diharapkan, hendaknya menata dan memperkuat dirinya melalui upaya : 
  1. Menciptakan tingkat solidaritas yang tinggi dalam satu kesatuan diantara pekerja dengan pekerja, pekerja dengan Serikat Pekerjanya, pekerja/Serikat Pekerja dengan manajemen
  2. Meyakinkan anggotanya untuk melaksanakan kewajibannya disamping haknya diorganisasi dan diperusahaan, serta pemupukan dana organisasi. 
  3. Dana Organisasi dibelanjakan berdasarkan program dan anggaran belanja yang sudah ditetapkan guna kepentingan peningkatan kemampuan dan pengetahuan pengurus untuk bidang pengetahuan terkait dengan keadaan dan kebutuhan ditempat bekerja, termasuk pelaksanaan hubungan industrial. 
  4. Sumber Daya Manusia yang baik akan mampu berinteraksi dengan pihak manajemen secara rasional dan obyektif
Bilamana, paling tidak 4 persyaratan diatas terpenuhi, Serikat Pekerja melalui wakilnya akan mampu mencari cara terbaik menyampaikan usulan positif guna kepentingan bersama. Perlu diyakini bahwa tercapainya Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat, hanya akan ada ditingkat perusahaan. Karenanya social dialogue yang setara, sehat, terbuka, saling percaya dan dengan visi yang sama guna pertumbuhan perusahaan sangat penting dan memegang peranan menentukan.

Faktor diluar itu pada dasarnya hanya merupakan pedoman dan faktor pendukung dan pembantu. Pembinaan dan peningkatan kualitas SDM dapat dirumuskan melalui LKS Bipartit. Program Quality Circle perlu dilakukan.


Share:

Minggu, 18 Februari 2018

PERAN STRATEGIS TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN



1. Tanggung jawab  sosial
Dalam hubungan bisnis dan pemangku kepentingan  (stakeholder) pada tahap awal diakui bahwa tanggung jawab  sosial  adalah fungsi pemerintah, bukan tanggung jawab  bisnis ataupun perusahaan.  Pendapat  ini tentunya terjadi pada  awal dekade dimana   hasil alam  masih berlimpah, persaingan  industri tidak  ketat, dan tuntutan pemangku kepentingan   terhadap perusahaan  belum tinggi. Dapat dicatat a pendapat Friedman dalam Robin, F (2008)  hal 232. menuliskan   bahwa The business of business  is to maximise profits, to earn a good return on capital invested and to be good corporate citizen obeying the law- no more and no less. Sejalan evolusi pada  seluruh bidang,  termasuk adanya globalisasi,  hal demikian berubah drastis.
Dalam perkembangan bisnis baru, diakui bahwa tanggung jawab  sosial perusahaan   yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR)  adalah fungsi   perusahaan.  Adapun “desakan” untuk itu  bersumber dari banyak hal baik karena tekanan global maupun regional.  Bilamana dikaitkan fungsi maka ini dilakukan secara sukarela (voluntary) bukan karena adanya paksaan dari luar,  utamanya dari pemerintah.  Lebih dari itu, pembeda  terminologi CSR dengan  penerapan sebelumnya  terletak kepada  fungsi “tanggung jawab ” yang bermakna bahwa CSR sifatnya datang dari perusahaan.
Banyak konsep CSR yang dipubllikasikan,  Wibisono (2007) melaporkan  CSR  bahwa CSR didefinisikan  sebagai komitmen dunia usaha  untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontibusi untuk peningkatan ekonomi,  bersamaan dengan  peningkatan kualitas hidup  komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.  Dalam  versi World Bank   CSR didefinisikan sebagai  “the comitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to  improve  quality of life, in   ways that are both and good fo business development
Dalam batasan demikian, maka  CSR sesungguhnya merupakan  konsep dan program  yang menucnul secara sukarela, karena perusahaan  menganggap penting sehingga  harus diformulasikan sedemikian  rupa. Selanjutnya,  di dalam konsep CSR  terdapat berbagai   aspek seperti nilai, kultur, kompetensi, sejarah perusahaan bahkan etika yang dijadikan dasar bertindak oleh seluruh pihak internal manajemen perusahaan .
Isu terkait dengan  CSR senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan  dinamika dan kesadaran tetang kebutuhan bersama. Isu yang terkait   utamnya adalah   Good Corporate Governance, Sustainable Development, sampai ke Daya Saing. Bilamana isu ini disimak lebih dalam, maka ditemukan bahwa  penerapan CSR  saling menopang dengan  dimensi-dimensi tersebut. Bila dikatikan dengan  corporate governance maka penakanan  CSR adalah pelibatan  stakeholder dalam  tatakelola perusahaan. Semantara  itu bila dikaitkan dengan  isu keberlanjutan, penekanannya adalah bahwa bisnis yang dapat berkelanjutan apabila didukung oleh pemangku kepentingan.  Selanjutnya bila dikaitkan dengan    konsep daya saing, maka sisi   pelaksanaan CSR adalah dalam rangka membangun daya saing bisnis baik di tingkat regional maupun global  (Zadek, 2006)
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab  sosial, prinsip  sederhana yang mendasari perkembangannya adanya satu pengakuan prinsip mutualisme, dimana  antara perusahaan dan masyarakat harus hidup berdampingan dan saling memberikan manfaat bersama. Hal ini kemudian diakui oleh bisnis bahwa hanya dengan masyarakat – yang dikenal juga dengan sebutan stakeholder yang kuat – maka bisnis dapat berkembang dengan baik.
Dalam perkembangan  yang lebih lanjut, perkembangan  teknologi  menjadi isu yang paling dominan  sebagai bagian daripada  tanggung jawab  sosial. Teknologi cloning misalnya  telah  berkembang demikian pesat, akan tetapi tetap dilaksanakan  untuk mengapresiasi keberdaan daripada  manusia dan masyarakat. Demikian juga dengan  teknologi  transgenik  di bidang  budidaya  secara teknologi telah lolos akan tetapi secara sosial dan kemasyarakatan masih terus dipertanyakan.  Sesuai dengan  penjelasan di atas, fokus diskusi pada studi ini adalah bagaimanakah model pengembangan tanggung jawab  sosial perusahaan  dalam presfektif penggunaan hasil  penelitian dan teknologi.
2. Tanggung jawab  sosial Perusahaan
Tanggung jawab  sosial  dewasa ini sudah menjadi bagian daripada  orientasi bisnis. Prinsip  ketergantngan dan manfaat bersama ternyata  menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan  atau implementasi  program tanggung jawab  sosial.  Terminologi Tanggung jawab  Sosial (social responsibility) sendiri   terkait dengan  banyak istilah. Waddock dalam Meehan  (2006)  menjelaskan 9 istilah yang berkaitan dengan  tanggung jawab  sosial: 1) corporate social responsibility (CSR), 2) corporate social perfomance (CSP), 3) alternative CSR3c, 4) Corporate responsibility, 5) Stakeholder approcah, 6) Business ethics and values, inclding nature-based values, 7) Boundary-spanning functions including, 8) Corporate Community Involvement (CCI), dan 9)  Corporate Citizenship (CC).
Substansi  daripada  istilah ini dari masa ke masa mengalami  perubahan. Pada  tahun 60an, tanggung jawab  sosial lebih berintikan “charity” perusahaan  kepada lingkungan  yang mengambil berbagai bentuk, berbeda antara satu perusahaan  terhadap perusahaan   lain. Sudah tentu, model charity seperti itu susah untuk dievaluasi manfaat dan dampaknya. Model pyramida yang dikembangkan Carrol sangat dominan dalam penjelasan tanggung jawab  sosial, Caroll menjelaskan kaitan antara satu bidang tanggung jawab  sosial korporasi dengan  bidang lain.  Dari semua model di atas, salah satu yang dominan    dikembangkan sekarang ini ada model pendekatan yang dikembangkan yaitu model pendekatan stakeholder (5). Model ini menjelaskan  rinci  peran pemangku kepentingan  dan fungsinya kepada perusahaan. Dengan  identifikasi peran dan kepentingan, maka perusahaan  dapat mengintegrasikannya ke dalam satu pencapaian tujuan. Sementara Meehan sendiri lebih  menggunakan model 3C-SR, dimana inti dari 3C adalah  Commitment, Consistency dan Connection, dan patut dicatat tidak  kedua model ini sesungguhnya berbeda pandangna, pada model 3C lebih menekankan  konsep yang kemudian diurut menjadi  operasional.
Di Indonesia, masalah tanggung jawab  sosial bisnis menjadi  isu yang belum terslesaikan dengan  baik. Menurut UU No 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas  telah dinyatakan bahwa   tanggung jawab  Sosial adalah bagian daripada  tugas perseroan, oleh karena itu perseroan harus menyediakan dana.  Artinya komponen biaya  tanggung jawab  sosial bukan lagi didasarkan kepada skema  kalau perusahaan  punya dana, akan tetapi di awal perusahaan  telah diharuskan mencantumkan dana tanggung jawab  sosial.  Konsep ini  menjustifikasi anggaran di tingkat manajemen puncak yang belum tentu mendapat pengesahan. Lebih dari itu, perseroan diharuskan menyampaikan laporan.
Selain aturan ini masih ada program lain bersifat insentif dan fasilitatif, yaitu  PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dimaksudkan untuk mendorong perusahaan peserta meningkatkan prestasi mereka dalam program lingkungan hidup secara luas. Sesuai dengan prinsip dasar PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen insentif dan diseinsentif reputasi dengan pelibatan masyarakat dan sekaligus sebagai wujud dari pelaksanaan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23/1997 pasal 5 ayat 2 tentang hak masyarakat atas infomasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. Perusahaan  yang terlibat dalam program  mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, karena hasil peringkat dimumkan  terbuka, yang baik diberi hadiah,  pihak manajemen merasa  manfaat langsung. Walau program ini tidak bisa disamakan dengan  program tanggung jawab  sosial, karena kecenderungan pada program ini adalah  masalah lingkungan.
Bersamaan dengan  pandangan ini dikenal istilah stakeholder  dalam terminologi Indonesia dikenal sebagai pemangku kepentingan . Jadi kalau tuga perusahaan  pada awalnya adalah untuk menciptakan keuntungan kepada pemilik saham (shareholder), maka tugas ini telah berobah menjadi  memberikan manfaat kepada stakeholder. Dari hasil penelusuran studi literatur diketahui bahwa  banyak penulis mengacu kepada  pendapat Carol (1979) yang mengidentifikasi bahwa tanggung jawab  sosial perusahaan  adalah: 1) ekonomi, 2) legal, 3) ethical, 4) diskresionary.  Masing-masing tanggung jawab  sosial ini dijelaskan sebagai  berikut (Jamali, D. 208)
1)       Ekonomi  mislanya berkaitan dengan   menyediakan ROI kepada pemegang  saham,  menciptakan pekerjaan dan pengupahan yang adil,  menemukan sumberdaya baru,  mempromosikan  penggunaan teknologi lanjutan, inovasi, dan menciptakan barang dan jasa yang baru.
2)       Legal berkaitan dengan   peran perusahaan  memainkan peran sesuai  dengan  peraturan dan prosedur.  Dalam kaitan ini  masyarakat mengharapkan  agar perusahaan   dapat memenuhi visi dan misi yang diusungnya.
3)       Etika diharapkan agar pelaku bisnis mempunyai moral, etika kerja dimana perusahaan  berada.  Etika tidak harus sesuai dengan  apa yang diatur dalam  aturan formal, akan tetapi  dapat memenuhi harapan masyarakat terhadap perusahaan , misalnya menghargai masyarakat, menghidnari pencideraan masyarakat,  dan mencegah adanya bencana bagi masyarakat.
4)       Berkaitan dengan   penilaian, pilihan perusahaan  dalam hal  kegiatan  yang diharapkan kembali kepada masyarakat.
Tentang dampak hubungan baik antara perusahaan  dengan  pemangku kepentingan , Kotter J dan James (1992) dalamSvendensen et.al. (2000)  laporannya tentang  Corporate Culture  yang dilaporkan Harvard, menunjukkan  bahwa  selama 11 tahun pemantauannya menunjukkan bahwa dari sisi:  pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan karyawan,  perusahaan  yang berorienatasi keapada stakeholder  berikenerja lebih baik dbanding dengan  perusahaan  yang berorientasi  pada pemegang saham. Dicatat juga bahwa  manajemen yang  menerapkan visi lebih memberikan fokus kepada  stakeholder  daripada  pemegang saham.  Laporan ini senada dengan  hasil penelitian  tentang  Living Company (1997) dimana  ditemukan bahwa  perusahaan  yang berorientasi kepada  pemangku kepentingan   tetap berada pada hubungan yang harmonis dengan  lingkungan nya dengan  tetap menjada hubungan  kuat dengan   lingkungan.  Hal demikian dimungkinkan karena manfaat yang diterima perusahaan  yang berorientasi kepada pelanggan akan memberikan manfaat yang berkelanjutan terhadap perusahaan .
3. Model Tanggung jawab  Sosial  Dalam Pemanfaatan Hasil Riste dan Teknologi
Tanggung jawab  Sosial semakin menemukan posisinya pada  perusahaan  dewasa ini. Bentuknya dalam era otonomi daerah juga disebut  Community Development. Dalam konteks ini  model dapat dilihat sebagai satu  urutan yang dapat diterapkan  oleh perusahaan  guna mencapai tujuan.
Adapun urutan dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Menginternalisasi  masalah tanggungjawab sosial ke dalam strategy perusahaan.
b) Mengimplementasikan  program tanggungjawab sosial ke dalam kegiatan  perusahaan.
c) Memantau dan mengevaluasi program tanggungjawab sosial.
a. Internalisasi ke dalam strategi
Langkah pertama sebagaimana terlihat pada Gambar 1. adalah keharusan menginternaliasi tanggung jawab  sosial kepada  ke dalam praktek bisnis. Internalisasi maksudnya adalah menjadikan permasalahan tanggung jawab  sosial sebagai bagian daripada  strategi perusahaan.  Hal ini perlu diingatkan karena dalam paradigma bisnis modern  bahwa hubungan pelanggan dan perusahaan  adalah aset  yang harus dikelola  manajer.  Elm, H. (2006)  dalam laporannya tentang  pelaksanaan CSR di Eropa Timur  masih sering dilihat sebagai  program Charity, bukan sebagai sesuatu yang eksplisit, tertuang  sebagai bagian daripada  strategi. Apa yang dikemukakan oleh  Mehaan dengan  model 3C-SR harus menjadi awal internalisasi yaitu  membangun komitmen. Sementara  itu membangun komitmen  haruslah dimulai dengan  adanya  pemahaman yang mendalam oleh pihak manajemen terhadap CSR. Untuk itu harus diakui bahwa manfaat CSR sebagai bagian daripada  intangible aset  tidaklah instan, akan tetapi perlahan-lahan pada jangka panjang.  Wibisono (2007) menjelaskan manfaat CSR: 1)  mempertahankan dan mendongkrak  brand image perusahaan, 2)  mem-peroleh license to operate, 3) mereduksi  risiko bisnis perusahaan, 4) melebarkan akses sumberdaya, 5) membentangkan akses menuju market, 6) mereduksi biaya, 7)  memperbaiki hubungan dengan  pemangku kepentingan, 8) memperbaiki hubungan dengan  regulator, 9)  meningkatkan semangat produktivitas, dan 10) peluang mendapatkan penghargaan.
Peran pemerintah dalam di atas adalah  penting. Pemerintah sebagai pemegang wewenang harus  melakukan pemeriksaan terhadap strategi perusahaan  dalam menginternalisasikan  permasalahan tanggung jawab  sosial  ke dalam permasalahan internal perusahaan . Sebagai catatan dapat disampaikan temuan Albareda, L. et.al. (2006) tentang peran pemerintah dalam implementasi  CSR: di Inggris   lebih sifatnya sistemik terhadap orientasi peran pemerintah dan swasta. Sementara di Itali sifatnya lebih ekstensif,  dan melakukan pendekatan  multi stakeholder dan multi level.
Pentingnya internalisasi CSR dalam strategi akan menentukan keberhasilan program CSR itu sendiri. Galbreath (2009), dalam studinya  menjelaskan bahwa  upaya perusahaan  mengintergrasikan ataupun merealisasikan CSR dalam strategi perusahaan  secara integratif  tidak menunjukkan  perubahan yang mendasar. Permasalahan dalam implementasi  CSR baru sebatas popularitas belum menyentuh permasalahan yang mendasar. Oleh karena itu,  pekerjaan utama secara bisnis dalam mengimplementasikan  CSR adalah  “mengadopsi” nya menjadi bagian strategi perusahaan .
b. Implementasi
Marten J.H.K, dkk. (2007) dalam studi kasus  tentang CSR  mengidentifikasi konflik yang pernah terjadi antara perusahaan  Multinasional dengan  masyarakat sekitar.  Identifikasi  mereka menunjukkan berbagai  hal:  1)  berkurangnya sumber ait, rendahnya kepedulian terhadap perekonomian masyarakat dan pengawasan perusahaan  yang berlebihan, 3) hilangnya jalan setapak dan terancamnya fungsi pembangunan kerekatan sosial. Oleh karena itu adapun implementasi  CSR didasarkan kepada permasalahan yang dihadapi perusahaan  terhadap pemangku kepentingan. Dalam hal ini  harus dibedakan mana pemangku kepentingan  primer dan sekunder.  Stakeholder primer mempunyai kepentingan yang langsung berhubungan dengan masa depan perusahaan. Yang termasuk stakeholder primer yaitu pemegang saham dan investor, karyawan, pelanggan, pemasok dan penduduk dimana perusahaan beroperasi. Beberapa ahli menambahkan stakeholder primer meliputi individu atau kelompok yang berkepentingan terhadap sumber daya alam, spesies bukan manusia, dan generasi yang akan datang (Wheeler dan Sillanpää, 1997). Sedangkan stakeholder sekunder adalah mereka yang tidak menerima dampak langsung; diantaranya media, kelompok pemerhati (pressure groups), atau kelompok sosial lain dimana perusahaan berada.
Fungsi pemerintah dalam hal ini sangat penting  untuk memeriksa cakupan dan   implementasinya di lapangan. Jamali (2008)  mendasarkan pelaksanaan CSR atas pendekatan pemangku kepentingan  (stakeholder). Dari hasil identifikasi yang dilakukan, dapat dilihat  kategori pemangku kepentingan  dan harapannya terhadap perusahaan .
Tabel.  1. Jenis Pemangku kepentingan  dan Harapan kepada perusahaan .
.
Pemangku kepentingan
Harapan  dipilah menjadi nilai
1
Karyawan
  • Kesehatan  dan keamanan bekerja
  • Pengembangan keahlian bekerja
  • Kesejahteraan dan kepuasan pekerja
  • Kualitas pekerjaan
  • Keadilan sosial
2
Pemasok
  • Kemitran antara perusahaan  yang memberikan order dan pemasok.
  • Pemilihan dan analisis sistem pasokan
3
Pelanggan
  • Kualitas produk
  • Keamanan pelanggan selama menggunakan produk
  • Perlindungan Konsumen
  • Transparansi informasi produk
4
Masyarakat
  • Menicptakan dan menambah nilai kepada masyarakat
  • Keamanan lingkungan dan produksi
Sumber.  Jamali Burma  (2018). 
Masing-masing pemangku kepentingan  ini mempunyai  harapan yang berbeda terhadap perusahaan. Oleh karena itu,  program dan kegiatan  harus didasarkan kepada identifikasi pemangku kepentingan  secara seksama.
Implementasi  bagaimanapun tidak berjalan mulus. Untuk kasus  Indonesia misalnya telah didapat   didapat dua Undang-undang  yang mengharuskan  korporasi menerapkan  yaitu Undang-undang tentang penanaman modal dan Undang-undang Perseroan  Terbatas. Akan tetapi kenyataan ini masih dihadapkan kepada kendala  yaitu:
1)       Isu tentang CSR   masih lebih sebatas  khabar  baik, akan tetapi  pelaksanaannya  masih langka. Robin (2008) melaporkan ada tiga kondisi yang dihadapi dalam penerapan CSR i)  biaya yang ditimbulkan  oleh CSR bisa saja tidak dikenal, ii)  keputusan yang berkaitan dengan  kompetensi yang tidak dipunyai  oleh perusahaan , dan iii)  CSR mungkin akan berkaitan dengan  lingkup sosial  yang lebih luas, pemerintah dan masyarakat,  hal ini membuat perusahaan  akan berfikir ulang.
2)       Untuk kasus Indonesia, sebagaimana dilaporkan oleh Pradjoto (2007) dalam  Kompas: perusahaan  melihat CSR sebagai biaya yang kemudian menjadikan biaya operasional perusahaan  meningkat. Pandangan demikian tentunya berbeda  dengan   makna daripada  CSR yang  lebih menekankan kepada tanggung jawab  perusahaan  ketimbang sekedar perbuatan baik.
Adapun tantangan demikian mengisyaratkan bahwa  keterlibatan  pemangku kepentingan  mutlak dalam mengimplementasikan  program  CSR. Pendekatan partisipatif dengan  berbagai bentuk akan menopang  keberhasilan perusahaan  dalam mengimplementasikan  program CSR.
c.  Monitoring dan Evaluasi
Adapun pertimbangan utama dalam menerapkan CSR  adalah manfaat, baik yang berwujud nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).  Oleh karena itu manfaat yang diharapkan senantiasa  harus mendapat dipantau  dan dievaluasi.  Penerapan CSR di Indonesia  dapat dikatkaan terlambat, hal ini bila dilihat  praktek yang dilaksanakan oleh perusahaan  besar di Indonesia CSR  masih cenderung bersifa niat baik (charity).  Keluarnya UU No. 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas secara eksplisit mencantumkan  Tanggung jawab  Sosial  sebagai bagian  daripada   kegiatan  perusahaan . Secara singkat dapat disimpulkan bahwa  setiap perseroan wajim mencantumkan dana  untuk tanggung jawab  sosial, melaksanakan, dan melaporkannya  ke pemerintah setiap tahunnya. Bahakan bagi perseroan yang tidak melaksanakan wajib  dikenakan sangsi. Pelaporan demikian  tentunya menjadi bagian daripada  kesempatan  yang memungkinkan  pemerintah, salah satu dari pemangku kepentingan  untuk terlibat dalam  pelaksanaan tanggung jawab  sosial. Walau  harus diakui bahwa  upaya menerbitkan PP yang beriaktan dengan  tanggung jawab  sosial lini masih mengalami hambatan.
4. Tanggung jawab  sosial dan teknologi  Riset Iptek
Ilmu pengetahuan dan  teknologi telah berkembang demikian pesat. Dari  sisi ilmu ekonomi bahkan telah berkembang aliran New Economy yang meyakini  bahwa ekonomi yang berkembang pesat adalah yang digerakkan oleh  ilmu pengetahuan  dan teknologi. Karena ini akan memberikan nilai tambah lebih besar kepada negara daripada menghasilkan bahan mentah yang menopang perekonomian.  Sehingga  kemajuan bangsa dan negara ditentukan anggaran yang tersedia untuk Riset dan Pengembangan (R&D).  Perkembangan  teknologi senantaisa tidak  terbatas, karena selalu terbuka ruang untuk  mengimpelementasikannya. Dari hasil penelusuran pada   ditemukan  33  kategori teknologi. Adapun kategori ini adalah sebagai berikut: alat, bahan peledak, digital, elektorinika, fotographi, informasi, lingkungan, luar angkasa, mesin, militer, optik, otomasi, percetakan, penghargaan sains,  pertanian, pendidikan, program luar angkasa, proses industri, robot, sejarah teknologi, sistem, suara, teknik, dan  teknologi televisi.
Berkaitan dengan  kategori teknologi di atas, pada dasarnya ada dua sumber teknologi bagi perusahaan  yaitu internal dan eksternal, yang lebih dikenal sebagai outsourcing. Dalam hal outsourcing,  keterlibatan  mitra  menyediakan teknologi bagi satu perusahaan  sangat dimungkinkan.  Teknologi bagi perusahaan  telah menjadi bagian daripada  kpts yang harus disiapkan untuk menopang daya saingnya. Akan tetapi pedoman untuk menerapkan teknologi dan ilmu pengetahuan diantaranya adalah sebagai berikut.
1.     Menjunjung Nilai luhur. Nilai luhur bagaimanapun harus diutamakan, karena nilai  kemanusiaan  melekat kepada ciptaan yang lebih tinggi. Untuk kasus cloning bagaimanapun hal ini tidak akan pernah  mendapat tempat karena  melecehkan  manusia sebagai  ciptaan yang maha kuasa.
2.     Perusahaan  menyusun  praktik penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam bentuk etika ataupun konduk, sehingga prinsip akuntabilitas tetap  terpelihara  sehingga memungkinkan  temuan dan inovasi berjalan dengan  baik.
3.     Menopang keberlanjutan lingkungan. Teknologi bagaimanapun harus mepertimbangkan  keberlanjutan lingkungan secara utuh untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
4.     Perusahaan  harus menggunakan teknologi secara bertanggungjawab sehingga dapat memperbaiki kualitas  perusahaan  secara khusus dan kualitas masyarakat beserta lingkungan secara  umum.
5.     Peran pemerintah harus bersifat fasilitatif, sehingga dapat mendorong  lahirnya berbagai temuan  yang dapat menopang  pembangunan bangsa secara keseluruhan.
5. Kesimpulan
Adapun praktik penerapan CSR yang  menjadi  populer saat ini haruslah juga mengakomodasi  isu-isu yang berkembang. Isu tentang  pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagaimanapun harus menjadi bagian daripada  strategi perusahaan  sehingga setiap perusahaan  dapat menyiapakan  pedoman (konduk)  yang menopang praktik dan pemanfaatan teknologi sebagai bagian daripada  tanggung jawab  sosial perusahaan . Dukungan terhadap praktik Tanggung jawab  Sosial perusahaan  baik berisfat Undang-undang dan  peraturan yang bersifat lolak senantiasa harus dipahami bukan sebagai beban perusahaan , akan tetapi sebagai tanggung jawab  perusahaan   untuk turut menopang pembangunan yang lebih luas.
Terimakasi, Semoga bermamfaat,
Ttd,
Ketua Umum
Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Aceh Indonesia
Jamali Burma



Share:

Ketentuan Cuti Melahirkan Bagi Pegawai Honorer



Misalnya Kabupaten A membuat Surat Perjanjian Kontrak untuk Pegawai Honorer yang salah satu isinya menyebutkan bahwa cuti melahirkan hanya diberikan selama satu bulan. Apakah Surat Perjanjian Kontrak seperti ini dibenarkan dan apakah tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan serta bagaimana penjelasan hukumnya?

Jawaban : Oleh Ketua Umum DPP-SPAI, Jamali Burma


Pegawai honorer, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), disebut dengan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”). PPPK berhak atas cuti, akan tetapi tidak ada aturan lebih lanjut menganai lamanya cuti melahirkan bagi PPPK dalam UU ASN.

Karena pegawai PPPK adalah juga pegawai ASN, maka ketentuan mengenai lamanya cuti melahirkan untuk PPPK dapat merujuk pada cuti melahirkan PNS pada UU ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yaitu 3 bulan.

Seharusnya perjanjian kerja yang mengatur mengenai lamanya cuti melahirkan tidak boleh bertentangan dengan aturan cuti melahirkan yang ada di peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai ASN.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.




Pengaturan Mengenai Pegawai Honorer Sebelum Berlaku UU ASN
Dalam artikel Status dan Gaji Pegawai Honorer, disebutkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), pengaturan tentang tenaga honor mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil, tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“APBD”).

Ini berarti tenaga honorer merupakan orang yang bekerja di instansi pemerintah yang gajinya dibayarkan oleh APBN atau APBD.

Pengaturan Mengenai Pegawai Honorer Setelah Berlaku UU ASN
Setelah lahirnya UU ASN, Pegawai Honorer diganti dengan istilah Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”), yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.[1]

PPPK merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN.[2]

Cuti Melahirkan PPPK
PPPK berhak memperoleh:[3]
a.    gaji dan tunjangan;
b.    cuti;
c.    perlindungan; dan
d.    pengembangan kompetensi.

Ketentuan lebih lanjut tentang hak (termasuk cuti melahirkan) dan kewajiban PPPKsebagai pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.[4] Tetapi Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai hak PPPK (cuti melahirkan) tersebutbelum ada. Berdasarkan pengertian pegawai PPPK, bahwa PPPK adalah pegawai ASN dengan perjanjian kerja yang diangkat Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN, maka menurut hemat kami, ketentuan mengenai cuti melahirkan untuk pegawai PPPK dapat merujuk pada ketentuancuti melahirkan PNS.

Menurut Pasal 310 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) cuti PNS terdiri dari:
a.    cuti tahunan;
b.    cuti besar;
c.    cuti sakit;
d.    cuti melahirkan;
e.    cuti karena alasan penting;
f.     cuti bersama; dan
g.    cuti di luar tanggungan negara.

Lamanya cuti melahirkan adalah 3 (tiga) bulan.[5]

Kemudian terkait dengan pertanyaan Anda apakah surat perjanjian kerja seperti yang Anda maksud dibenarkan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, seharusnya ketentuan mengenai cuti melahirkan yang terdapat di dalam perjanjian kerja tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai ASN.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, salah satunya adalah bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang (kausa yang halal).[6]

Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Rosa Agustina Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sebagaimana terdapat dalam artikel Hukum Perjanjian, bahwa asas kebebasan berkontrak tetap memiliki batasan, salah satunya undang-undang.

Jika perjanjian tidak memenuhi syarat sah perjanjian yaitu ‘sebab atau kausa yang halal’, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, karena pegawai PPPK adalah juga pegawai ASN, oleh karena itu ketentuan mengenai lamanya cuti melahirkan untuk PPPK dapat merujuk pada cuti melahirkan PNS pada UU ASN dan PP 11/2017 yaitu 3 bulan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Ttd,
Ketua Umum DPP-SPAI
Jamali Burma

Share: