1. Tanggung jawab sosial
Dalam hubungan bisnis dan pemangku kepentingan (stakeholder) pada tahap awal diakui bahwa tanggung jawab
sosial adalah fungsi pemerintah, bukan tanggung jawab bisnis
ataupun perusahaan. Pendapat ini tentunya terjadi pada awal
dekade dimana hasil alam masih berlimpah, persaingan
industri tidak ketat, dan tuntutan pemangku kepentingan
terhadap perusahaan belum tinggi. Dapat dicatat a pendapat
Friedman dalam Robin, F (2008) hal 232.
menuliskan bahwa The business of business is to maximise
profits, to earn a good return on capital invested and to be good corporate
citizen obeying the law- no more and no less. Sejalan evolusi pada seluruh bidang,
termasuk adanya globalisasi, hal demikian berubah drastis.
Dalam perkembangan bisnis baru, diakui bahwa tanggung jawab
sosial perusahaan yang dikenal sebagai Corporate Social
Responsibility (CSR) adalah fungsi perusahaan. Adapun
“desakan” untuk itu bersumber dari banyak hal baik karena tekanan global
maupun regional. Bilamana dikaitkan fungsi maka ini dilakukan secara
sukarela (voluntary)
bukan karena adanya paksaan dari luar, utamanya dari pemerintah.
Lebih dari itu, pembeda terminologi CSR dengan penerapan sebelumnya
terletak kepada fungsi “tanggung jawab ” yang bermakna bahwa CSR sifatnya
datang dari perusahaan.
Banyak konsep CSR yang dipubllikasikan, Wibisono (2007)
melaporkan CSR bahwa CSR didefinisikan sebagai komitmen dunia
usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal
dan berkontibusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat secara lebih
luas. Dalam versi World Bank CSR didefinisikan sebagai
“the comitment of business to contribute to sustainable economic
development working with employees and their representatives the local
community and society at large to improve quality of life, in
ways that are both and good fo business development”
Dalam batasan demikian, maka CSR sesungguhnya
merupakan konsep dan program yang menucnul secara sukarela, karena
perusahaan menganggap penting sehingga harus diformulasikan
sedemikian rupa. Selanjutnya, di dalam konsep CSR terdapat
berbagai aspek seperti nilai, kultur, kompetensi, sejarah
perusahaan bahkan etika yang dijadikan dasar bertindak oleh seluruh pihak
internal manajemen perusahaan .
Isu terkait dengan CSR senantiasa mengalami perubahan
sesuai dengan dinamika dan kesadaran tetang kebutuhan bersama. Isu yang
terkait utamnya adalah Good Corporate
Governance, Sustainable Development, sampai ke Daya Saing. Bilamana isu ini disimak lebih dalam, maka
ditemukan bahwa penerapan CSR saling menopang dengan
dimensi-dimensi tersebut. Bila dikatikan dengan corporate governance maka penakanan CSR adalah
pelibatan stakeholder dalam tatakelola perusahaan. Semantara
itu bila dikaitkan dengan isu keberlanjutan, penekanannya adalah
bahwa bisnis yang dapat berkelanjutan apabila didukung oleh pemangku kepentingan.
Selanjutnya bila dikaitkan dengan konsep daya saing, maka
sisi pelaksanaan CSR adalah dalam rangka membangun daya saing
bisnis baik di tingkat regional maupun global (Zadek, 2006)
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab sosial, prinsip
sederhana yang mendasari perkembangannya adanya satu pengakuan prinsip
mutualisme, dimana antara perusahaan dan masyarakat harus hidup
berdampingan dan saling memberikan manfaat bersama. Hal ini kemudian diakui
oleh bisnis bahwa hanya dengan masyarakat – yang dikenal juga dengan sebutan
stakeholder yang kuat – maka bisnis dapat berkembang dengan baik.
Dalam perkembangan yang lebih lanjut, perkembangan
teknologi menjadi isu yang paling dominan sebagai bagian
daripada tanggung jawab sosial. Teknologi cloning misalnya telah berkembang
demikian pesat, akan tetapi tetap dilaksanakan untuk mengapresiasi
keberdaan daripada manusia dan masyarakat. Demikian juga dengan
teknologi transgenik di bidang budidaya secara
teknologi telah lolos akan tetapi secara sosial dan kemasyarakatan masih terus
dipertanyakan. Sesuai dengan penjelasan di atas, fokus diskusi pada
studi ini adalah bagaimanakah model pengembangan tanggung jawab sosial
perusahaan dalam presfektif penggunaan hasil penelitian dan
teknologi.
2. Tanggung jawab sosial Perusahaan
Tanggung jawab sosial dewasa ini sudah menjadi
bagian daripada orientasi bisnis. Prinsip ketergantngan dan manfaat
bersama ternyata menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan atau
implementasi program tanggung jawab sosial. Terminologi
Tanggung jawab Sosial (social responsibility) sendiri terkait dengan banyak istilah.
Waddock dalam Meehan (2006) menjelaskan 9 istilah
yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial: 1) corporate social
responsibility (CSR), 2) corporate social
perfomance (CSP), 3) alternative CSR3c, 4) Corporate responsibility, 5) Stakeholder approcah, 6) Business ethics and values, inclding
nature-based values, 7) Boundary-spanning
functions including, 8) Corporate Community
Involvement (CCI), dan
9) Corporate Citizenship (CC).
Substansi daripada istilah ini dari masa ke masa
mengalami perubahan. Pada tahun 60an, tanggung jawab sosial
lebih berintikan “charity” perusahaan kepada lingkungan yang
mengambil berbagai bentuk, berbeda antara satu perusahaan terhadap
perusahaan lain. Sudah tentu, model charity seperti itu susah untuk
dievaluasi manfaat dan dampaknya. Model pyramida yang dikembangkan Carrol
sangat dominan dalam penjelasan tanggung jawab sosial, Caroll menjelaskan
kaitan antara satu bidang tanggung jawab sosial korporasi dengan
bidang lain. Dari semua model di atas, salah satu yang dominan
dikembangkan sekarang ini ada model pendekatan yang
dikembangkan yaitu model pendekatan stakeholder (5). Model ini menjelaskan rinci
peran pemangku kepentingan dan fungsinya kepada perusahaan. Dengan
identifikasi peran dan kepentingan, maka perusahaan dapat
mengintegrasikannya ke dalam satu pencapaian tujuan. Sementara Meehan sendiri
lebih menggunakan model 3C-SR, dimana inti dari 3C adalah Commitment,
Consistency dan Connection,
dan patut dicatat tidak kedua model ini sesungguhnya berbeda pandangna,
pada model 3C lebih menekankan konsep yang kemudian diurut menjadi
operasional.
Di Indonesia, masalah tanggung jawab sosial bisnis
menjadi isu yang belum terslesaikan dengan baik. Menurut UU No 40
Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas telah dinyatakan bahwa
tanggung jawab Sosial adalah bagian daripada tugas perseroan, oleh
karena itu perseroan harus menyediakan dana. Artinya komponen biaya
tanggung jawab sosial bukan lagi didasarkan kepada skema kalau
perusahaan punya dana, akan tetapi di awal perusahaan telah
diharuskan mencantumkan dana tanggung jawab sosial. Konsep
ini menjustifikasi anggaran di tingkat manajemen puncak yang belum tentu
mendapat pengesahan. Lebih dari itu, perseroan diharuskan menyampaikan laporan.
Selain aturan ini masih ada program lain bersifat insentif dan
fasilitatif, yaitu PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan) yang dimaksudkan untuk mendorong perusahaan peserta meningkatkan
prestasi mereka dalam program lingkungan hidup secara luas. Sesuai dengan
prinsip dasar PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup mendorong penataan
perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen insentif dan
diseinsentif reputasi dengan
pelibatan masyarakat dan sekaligus sebagai wujud dari pelaksanaan UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23/1997 pasal 5 ayat 2 tentang hak masyarakat
atas infomasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Perusahaan yang terlibat dalam program mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, karena hasil peringkat dimumkan terbuka,
yang baik diberi hadiah, pihak manajemen merasa manfaat langsung.
Walau program ini tidak bisa disamakan dengan program tanggung
jawab sosial, karena kecenderungan pada program ini adalah masalah
lingkungan.
Bersamaan dengan pandangan ini dikenal istilah
stakeholder dalam terminologi Indonesia dikenal sebagai pemangku
kepentingan . Jadi kalau tuga perusahaan pada awalnya adalah untuk
menciptakan keuntungan kepada pemilik saham (shareholder), maka tugas ini telah berobah menjadi memberikan manfaat
kepada stakeholder. Dari hasil penelusuran studi literatur diketahui
bahwa banyak penulis mengacu kepada pendapat Carol (1979) yang
mengidentifikasi bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah: 1)
ekonomi, 2) legal, 3) ethical, 4) diskresionary. Masing-masing tanggung
jawab sosial ini dijelaskan sebagai berikut (Jamali, D. 208)
1) Ekonomi mislanya
berkaitan dengan menyediakan ROI kepada pemegang saham,
menciptakan pekerjaan dan pengupahan yang adil, menemukan sumberdaya
baru, mempromosikan penggunaan teknologi lanjutan, inovasi, dan
menciptakan barang dan jasa yang baru.
2) Legal berkaitan
dengan peran perusahaan memainkan peran sesuai
dengan peraturan dan prosedur. Dalam kaitan ini masyarakat
mengharapkan agar perusahaan dapat memenuhi visi dan misi
yang diusungnya.
3) Etika diharapkan agar
pelaku bisnis mempunyai moral, etika kerja dimana perusahaan
berada. Etika tidak harus sesuai dengan apa yang diatur dalam
aturan formal, akan tetapi dapat memenuhi harapan masyarakat terhadap
perusahaan , misalnya menghargai masyarakat, menghidnari pencideraan masyarakat,
dan mencegah adanya bencana bagi masyarakat.
4) Berkaitan
dengan penilaian, pilihan perusahaan dalam hal
kegiatan yang diharapkan kembali kepada masyarakat.
Tentang dampak hubungan baik antara perusahaan
dengan pemangku kepentingan , Kotter J dan James (1992) dalamSvendensen et.al. (2000) laporannya tentang
Corporate Culture yang dilaporkan Harvard, menunjukkan
bahwa selama 11 tahun pemantauannya menunjukkan bahwa dari
sisi: pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan karyawan, perusahaan
yang berorienatasi keapada stakeholder berikenerja lebih baik dbanding
dengan perusahaan yang berorientasi pada pemegang saham.
Dicatat juga bahwa manajemen yang menerapkan visi lebih memberikan
fokus kepada stakeholder daripada pemegang saham.
Laporan ini senada dengan hasil penelitian tentang Living
Company (1997) dimana ditemukan bahwa perusahaan yang
berorientasi kepada pemangku kepentingan tetap berada pada
hubungan yang harmonis dengan lingkungan nya dengan tetap menjada
hubungan kuat dengan lingkungan. Hal demikian
dimungkinkan karena manfaat yang diterima perusahaan yang berorientasi
kepada pelanggan akan memberikan manfaat yang berkelanjutan terhadap perusahaan
.
3. Model Tanggung jawab
Sosial Dalam Pemanfaatan Hasil Riste dan Teknologi
Tanggung jawab Sosial semakin menemukan posisinya
pada perusahaan dewasa ini. Bentuknya dalam era otonomi daerah juga
disebut Community Development. Dalam konteks ini model dapat dilihat sebagai satu
urutan yang dapat diterapkan oleh perusahaan guna mencapai tujuan.
Adapun urutan dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Menginternalisasi masalah tanggungjawab sosial ke dalam
strategy perusahaan.
b) Mengimplementasikan program tanggungjawab sosial ke
dalam kegiatan perusahaan.
c) Memantau dan mengevaluasi program tanggungjawab sosial.
a. Internalisasi ke dalam strategi
Langkah pertama sebagaimana terlihat pada Gambar 1. adalah
keharusan menginternaliasi tanggung jawab sosial kepada ke dalam
praktek bisnis. Internalisasi maksudnya adalah menjadikan permasalahan tanggung
jawab sosial sebagai bagian daripada strategi perusahaan. Hal
ini perlu diingatkan karena dalam paradigma bisnis modern bahwa hubungan
pelanggan dan perusahaan adalah aset yang harus dikelola
manajer. Elm, H. (2006) dalam laporannya tentang pelaksanaan
CSR di Eropa Timur masih sering dilihat sebagai program Charity,
bukan sebagai sesuatu yang eksplisit, tertuang sebagai bagian
daripada strategi. Apa yang dikemukakan oleh Mehaan dengan
model 3C-SR harus menjadi awal internalisasi yaitu membangun komitmen.
Sementara itu membangun komitmen haruslah dimulai dengan
adanya pemahaman yang mendalam oleh pihak manajemen terhadap CSR. Untuk
itu harus diakui bahwa manfaat CSR sebagai bagian daripada intangible
aset tidaklah instan, akan tetapi perlahan-lahan pada jangka
panjang. Wibisono (2007) menjelaskan manfaat CSR: 1) mempertahankan
dan mendongkrak brand image perusahaan, 2) mem-peroleh license to
operate, 3) mereduksi risiko bisnis perusahaan, 4) melebarkan akses
sumberdaya, 5) membentangkan akses menuju market, 6) mereduksi biaya, 7)
memperbaiki hubungan dengan pemangku kepentingan, 8) memperbaiki hubungan
dengan regulator, 9) meningkatkan semangat produktivitas, dan 10) peluang
mendapatkan penghargaan.
Peran pemerintah dalam di atas adalah penting. Pemerintah
sebagai pemegang wewenang harus melakukan pemeriksaan terhadap strategi
perusahaan dalam menginternalisasikan permasalahan tanggung jawab
sosial ke dalam permasalahan internal perusahaan . Sebagai catatan
dapat disampaikan temuan Albareda, L. et.al. (2006) tentang peran pemerintah dalam implementasi CSR:
di Inggris lebih sifatnya sistemik terhadap orientasi peran
pemerintah dan swasta. Sementara di Itali sifatnya lebih ekstensif, dan
melakukan pendekatan multi stakeholder dan multi level.
Pentingnya internalisasi CSR dalam strategi akan menentukan
keberhasilan program CSR itu sendiri. Galbreath (2009), dalam studinya
menjelaskan bahwa upaya perusahaan mengintergrasikan ataupun
merealisasikan CSR dalam strategi perusahaan secara integratif
tidak menunjukkan perubahan yang mendasar. Permasalahan dalam
implementasi CSR baru sebatas popularitas belum menyentuh permasalahan
yang mendasar. Oleh karena itu, pekerjaan utama secara bisnis dalam
mengimplementasikan CSR adalah “mengadopsi” nya menjadi bagian
strategi perusahaan .
b. Implementasi
Marten J.H.K, dkk. (2007) dalam studi kasus tentang
CSR mengidentifikasi konflik yang pernah terjadi antara perusahaan
Multinasional dengan masyarakat sekitar. Identifikasi mereka
menunjukkan berbagai hal: 1) berkurangnya sumber ait,
rendahnya kepedulian terhadap perekonomian masyarakat dan pengawasan
perusahaan yang berlebihan, 3) hilangnya jalan setapak dan terancamnya
fungsi pembangunan kerekatan sosial. Oleh karena itu adapun implementasi
CSR didasarkan kepada permasalahan yang dihadapi perusahaan terhadap
pemangku kepentingan. Dalam hal ini harus dibedakan mana pemangku
kepentingan primer dan sekunder. Stakeholder primer mempunyai kepentingan yang langsung
berhubungan dengan masa depan perusahaan. Yang termasuk stakeholder primer
yaitu pemegang saham dan investor, karyawan, pelanggan, pemasok dan penduduk
dimana perusahaan beroperasi. Beberapa ahli menambahkan stakeholder primer
meliputi individu atau kelompok yang berkepentingan terhadap sumber daya alam,
spesies bukan manusia, dan generasi yang akan datang (Wheeler dan Sillanpää,
1997). Sedangkan stakeholder sekunder adalah mereka yang tidak menerima dampak langsung; diantaranya
media, kelompok pemerhati (pressure groups), atau kelompok sosial lain dimana perusahaan berada.
Fungsi pemerintah dalam hal ini sangat penting untuk
memeriksa cakupan dan implementasinya di lapangan. Jamali (2008)
mendasarkan pelaksanaan CSR atas pendekatan pemangku kepentingan
(stakeholder). Dari hasil identifikasi yang dilakukan, dapat dilihat
kategori pemangku kepentingan dan harapannya terhadap perusahaan .
Tabel. 1. Jenis Pemangku kepentingan dan Harapan
kepada perusahaan .
.
|
Pemangku kepentingan
|
Harapan
dipilah menjadi nilai
|
1
|
Karyawan
|
- Kesehatan dan keamanan bekerja
- Pengembangan keahlian bekerja
- Kesejahteraan dan kepuasan pekerja
- Kualitas pekerjaan
- Keadilan sosial
|
2
|
Pemasok
|
- Kemitran antara perusahaan yang memberikan
order dan pemasok.
- Pemilihan dan analisis sistem pasokan
|
3
|
Pelanggan
|
- Kualitas produk
- Keamanan pelanggan selama menggunakan produk
- Perlindungan Konsumen
- Transparansi informasi produk
|
4
|
Masyarakat
|
- Menicptakan dan menambah nilai kepada masyarakat
- Keamanan lingkungan dan produksi
|
Sumber. Jamali Burma
(2018).
Masing-masing pemangku kepentingan ini mempunyai
harapan yang berbeda terhadap perusahaan. Oleh karena itu, program dan
kegiatan harus didasarkan kepada identifikasi pemangku kepentingan
secara seksama.
Implementasi bagaimanapun tidak berjalan mulus. Untuk
kasus Indonesia misalnya telah didapat didapat dua
Undang-undang yang mengharuskan korporasi menerapkan yaitu
Undang-undang tentang penanaman modal dan Undang-undang Perseroan
Terbatas. Akan tetapi kenyataan ini masih dihadapkan kepada kendala
yaitu:
1) Isu tentang
CSR masih lebih sebatas khabar baik, akan tetapi
pelaksanaannya masih langka. Robin (2008) melaporkan ada tiga kondisi
yang dihadapi dalam penerapan CSR i) biaya yang ditimbulkan oleh
CSR bisa saja tidak dikenal, ii) keputusan yang berkaitan dengan
kompetensi yang tidak dipunyai oleh perusahaan , dan iii) CSR
mungkin akan berkaitan dengan lingkup sosial yang lebih luas,
pemerintah dan masyarakat, hal ini membuat perusahaan akan berfikir
ulang.
2) Untuk kasus Indonesia,
sebagaimana dilaporkan oleh Pradjoto (2007) dalam Kompas:
perusahaan melihat CSR sebagai biaya yang kemudian menjadikan biaya
operasional perusahaan meningkat. Pandangan demikian tentunya
berbeda dengan makna daripada CSR yang lebih
menekankan kepada tanggung jawab perusahaan ketimbang sekedar
perbuatan baik.
Adapun tantangan demikian mengisyaratkan bahwa
keterlibatan pemangku kepentingan mutlak dalam mengimplementasikan
program CSR. Pendekatan partisipatif dengan berbagai bentuk akan
menopang keberhasilan perusahaan dalam mengimplementasikan
program CSR.
c. Monitoring dan Evaluasi
Adapun pertimbangan utama dalam menerapkan CSR adalah
manfaat, baik yang berwujud nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Oleh karena itu manfaat yang diharapkan senantiasa
harus mendapat dipantau dan dievaluasi. Penerapan CSR di
Indonesia dapat dikatkaan terlambat, hal ini bila dilihat praktek yang
dilaksanakan oleh perusahaan besar di Indonesia CSR masih cenderung
bersifa niat baik (charity). Keluarnya UU No. 40 tahun 2007, tentang
Perseroan Terbatas secara eksplisit mencantumkan Tanggung jawab
Sosial sebagai bagian daripada kegiatan perusahaan
. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa setiap perseroan wajim
mencantumkan dana untuk tanggung jawab sosial, melaksanakan, dan
melaporkannya ke pemerintah setiap tahunnya. Bahakan bagi perseroan yang
tidak melaksanakan wajib dikenakan sangsi. Pelaporan demikian
tentunya menjadi bagian daripada kesempatan yang memungkinkan
pemerintah, salah satu dari pemangku kepentingan untuk terlibat
dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial. Walau harus diakui
bahwa upaya menerbitkan PP yang beriaktan dengan tanggung jawab
sosial lini masih mengalami hambatan.
4. Tanggung jawab sosial dan
teknologi Riset Iptek
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang demikian
pesat. Dari sisi ilmu ekonomi bahkan telah berkembang aliran New Economy yang meyakini bahwa ekonomi yang
berkembang pesat adalah yang digerakkan oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Karena ini akan memberikan nilai tambah lebih besar kepada negara
daripada menghasilkan bahan mentah yang menopang perekonomian. Sehingga
kemajuan bangsa dan negara ditentukan anggaran yang tersedia untuk Riset
dan Pengembangan (R&D). Perkembangan teknologi senantaisa
tidak terbatas, karena selalu terbuka ruang untuk
mengimpelementasikannya. Dari hasil penelusuran pada ditemukan
33 kategori teknologi. Adapun kategori ini adalah sebagai berikut: alat, bahan peledak,
digital, elektorinika, fotographi, informasi, lingkungan, luar angkasa, mesin,
militer, optik, otomasi, percetakan, penghargaan sains, pertanian,
pendidikan, program luar angkasa, proses industri, robot, sejarah teknologi,
sistem, suara, teknik, dan teknologi televisi.
Berkaitan dengan kategori teknologi di atas, pada dasarnya
ada dua sumber teknologi bagi perusahaan yaitu internal dan eksternal,
yang lebih dikenal sebagai outsourcing. Dalam hal outsourcing, keterlibatan mitra menyediakan teknologi
bagi satu perusahaan sangat dimungkinkan. Teknologi bagi
perusahaan telah menjadi bagian daripada kpts yang harus disiapkan
untuk menopang daya saingnya. Akan tetapi pedoman untuk menerapkan teknologi
dan ilmu pengetahuan diantaranya adalah sebagai berikut.
1.
Menjunjung Nilai
luhur. Nilai luhur bagaimanapun harus diutamakan, karena nilai
kemanusiaan melekat kepada ciptaan yang lebih tinggi. Untuk kasus
cloning bagaimanapun hal ini tidak akan pernah mendapat tempat
karena melecehkan manusia sebagai ciptaan yang maha kuasa.
2.
Perusahaan
menyusun praktik penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam bentuk
etika ataupun konduk, sehingga prinsip akuntabilitas tetap terpelihara
sehingga memungkinkan temuan dan inovasi berjalan dengan baik.
3.
Menopang keberlanjutan
lingkungan. Teknologi bagaimanapun harus mepertimbangkan keberlanjutan
lingkungan secara utuh untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
4.
Perusahaan harus
menggunakan teknologi secara bertanggungjawab sehingga dapat memperbaiki
kualitas perusahaan secara khusus dan kualitas masyarakat beserta
lingkungan secara umum.
5.
Peran pemerintah harus
bersifat fasilitatif, sehingga dapat mendorong lahirnya berbagai
temuan yang dapat menopang pembangunan bangsa secara keseluruhan.
5. Kesimpulan
Adapun praktik penerapan CSR yang menjadi populer
saat ini haruslah juga mengakomodasi isu-isu yang berkembang. Isu
tentang pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagaimanapun harus
menjadi bagian daripada strategi perusahaan sehingga setiap
perusahaan dapat menyiapakan pedoman (konduk) yang menopang
praktik dan pemanfaatan teknologi sebagai bagian daripada tanggung
jawab sosial perusahaan . Dukungan terhadap praktik Tanggung jawab
Sosial perusahaan baik berisfat Undang-undang dan peraturan yang
bersifat lolak senantiasa harus dipahami bukan sebagai beban perusahaan , akan
tetapi sebagai tanggung jawab perusahaan untuk turut menopang
pembangunan yang lebih luas.
Terimakasi, Semoga bermamfaat,
Ttd,
Ketua Umum
Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Aceh
Indonesia
Jamali Burma