MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Minggu, 18 Februari 2018

Ketentuan Cuti Melahirkan Bagi Pegawai Honorer



Misalnya Kabupaten A membuat Surat Perjanjian Kontrak untuk Pegawai Honorer yang salah satu isinya menyebutkan bahwa cuti melahirkan hanya diberikan selama satu bulan. Apakah Surat Perjanjian Kontrak seperti ini dibenarkan dan apakah tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan serta bagaimana penjelasan hukumnya?

Jawaban : Oleh Ketua Umum DPP-SPAI, Jamali Burma


Pegawai honorer, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), disebut dengan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”). PPPK berhak atas cuti, akan tetapi tidak ada aturan lebih lanjut menganai lamanya cuti melahirkan bagi PPPK dalam UU ASN.

Karena pegawai PPPK adalah juga pegawai ASN, maka ketentuan mengenai lamanya cuti melahirkan untuk PPPK dapat merujuk pada cuti melahirkan PNS pada UU ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yaitu 3 bulan.

Seharusnya perjanjian kerja yang mengatur mengenai lamanya cuti melahirkan tidak boleh bertentangan dengan aturan cuti melahirkan yang ada di peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai ASN.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.




Pengaturan Mengenai Pegawai Honorer Sebelum Berlaku UU ASN
Dalam artikel Status dan Gaji Pegawai Honorer, disebutkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), pengaturan tentang tenaga honor mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil, tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“APBD”).

Ini berarti tenaga honorer merupakan orang yang bekerja di instansi pemerintah yang gajinya dibayarkan oleh APBN atau APBD.

Pengaturan Mengenai Pegawai Honorer Setelah Berlaku UU ASN
Setelah lahirnya UU ASN, Pegawai Honorer diganti dengan istilah Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”), yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.[1]

PPPK merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN.[2]

Cuti Melahirkan PPPK
PPPK berhak memperoleh:[3]
a.    gaji dan tunjangan;
b.    cuti;
c.    perlindungan; dan
d.    pengembangan kompetensi.

Ketentuan lebih lanjut tentang hak (termasuk cuti melahirkan) dan kewajiban PPPKsebagai pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.[4] Tetapi Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai hak PPPK (cuti melahirkan) tersebutbelum ada. Berdasarkan pengertian pegawai PPPK, bahwa PPPK adalah pegawai ASN dengan perjanjian kerja yang diangkat Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN, maka menurut hemat kami, ketentuan mengenai cuti melahirkan untuk pegawai PPPK dapat merujuk pada ketentuancuti melahirkan PNS.

Menurut Pasal 310 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) cuti PNS terdiri dari:
a.    cuti tahunan;
b.    cuti besar;
c.    cuti sakit;
d.    cuti melahirkan;
e.    cuti karena alasan penting;
f.     cuti bersama; dan
g.    cuti di luar tanggungan negara.

Lamanya cuti melahirkan adalah 3 (tiga) bulan.[5]

Kemudian terkait dengan pertanyaan Anda apakah surat perjanjian kerja seperti yang Anda maksud dibenarkan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, seharusnya ketentuan mengenai cuti melahirkan yang terdapat di dalam perjanjian kerja tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai ASN.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, salah satunya adalah bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang (kausa yang halal).[6]

Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Rosa Agustina Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sebagaimana terdapat dalam artikel Hukum Perjanjian, bahwa asas kebebasan berkontrak tetap memiliki batasan, salah satunya undang-undang.

Jika perjanjian tidak memenuhi syarat sah perjanjian yaitu ‘sebab atau kausa yang halal’, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, karena pegawai PPPK adalah juga pegawai ASN, oleh karena itu ketentuan mengenai lamanya cuti melahirkan untuk PPPK dapat merujuk pada cuti melahirkan PNS pada UU ASN dan PP 11/2017 yaitu 3 bulan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Ttd,
Ketua Umum DPP-SPAI
Jamali Burma

Share:

0 komentar:

Posting Komentar