Misalnya Kabupaten A membuat Surat Perjanjian Kontrak untuk
Pegawai Honorer yang salah satu isinya menyebutkan bahwa cuti melahirkan hanya
diberikan selama satu bulan. Apakah Surat Perjanjian Kontrak seperti ini
dibenarkan dan apakah tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan serta
bagaimana penjelasan hukumnya?
Jawaban : Oleh Ketua
Umum DPP-SPAI, Jamali Burma
Pegawai
honorer, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), disebut
dengan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”). PPPK berhak atas
cuti, akan tetapi tidak ada aturan lebih lanjut menganai lamanya cuti
melahirkan bagi PPPK dalam UU ASN.
Karena
pegawai PPPK adalah juga pegawai ASN, maka ketentuan mengenai lamanya cuti
melahirkan untuk PPPK dapat merujuk pada cuti melahirkan PNS pada UU ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen
Pegawai Negeri Sipil yaitu 3 bulan.
Seharusnya
perjanjian kerja yang mengatur mengenai lamanya cuti melahirkan tidak boleh
bertentangan dengan aturan cuti melahirkan yang ada di peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai ASN.
Penjelasan
lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Pengaturan Mengenai Pegawai Honorer
Sebelum Berlaku UU ASN
Dalam artikel Status dan Gaji Pegawai Honorer, disebutkan bahwa
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”),
pengaturan tentang tenaga honor mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 1 angka
1 Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil,
tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada
instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (“APBN”) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(“APBD”).
Ini berarti tenaga honorer merupakan
orang yang bekerja di instansi pemerintah yang gajinya dibayarkan oleh APBN
atau APBD.
Pengaturan Mengenai Pegawai Honorer
Setelah Berlaku UU ASN
Setelah lahirnya UU ASN, Pegawai Honorer diganti dengan istilah Pegawai Pemerintah Dengan
Perjanjian Kerja (“PPPK”), yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat
tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu
tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.[1]
PPPK merupakan Pegawai ASN yang
diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN.[2]
Cuti Melahirkan PPPK
PPPK berhak memperoleh:[3]
a. gaji dan tunjangan;
b. cuti;
c. perlindungan; dan
d. pengembangan
kompetensi.
Ketentuan lebih lanjut tentang hak
(termasuk cuti melahirkan) dan kewajiban PPPKsebagai
pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.[4] Tetapi Peraturan Pemerintah yang
mengatur lebih lanjut mengenai hak PPPK (cuti melahirkan) tersebutbelum ada.
Berdasarkan pengertian pegawai PPPK, bahwa PPPK adalah pegawai ASN dengan
perjanjian kerja yang diangkat Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan
kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN, maka menurut hemat kami,
ketentuan mengenai cuti melahirkan untuk pegawai PPPK dapat merujuk pada
ketentuancuti melahirkan PNS.
Menurut Pasal 310 Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP
11/2017”) cuti PNS terdiri dari:
a. cuti tahunan;
b. cuti besar;
c. cuti sakit;
d. cuti melahirkan;
e. cuti karena alasan
penting;
f. cuti bersama; dan
g. cuti di luar
tanggungan negara.
Lamanya cuti melahirkan adalah
3 (tiga) bulan.[5]
Kemudian terkait dengan pertanyaan
Anda apakah surat perjanjian kerja seperti yang Anda maksud dibenarkan dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang, seharusnya ketentuan mengenai cuti
melahirkan yang terdapat di dalam perjanjian kerja tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai ASN.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak
dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), para pihak dalam
kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa
asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat
sahnya perjanjian, salah satunya adalah bahwa suatu perjanjian tidak boleh
melanggar undang-undang (kausa yang halal).[6]
Hal ini serupa dengan yang dikatakan
oleh Rosa Agustina Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, sebagaimana terdapat dalam artikel Hukum Perjanjian, bahwa asas kebebasan berkontrak tetap
memiliki batasan, salah satunya undang-undang.
Jika perjanjian tidak memenuhi syarat
sah perjanjian yaitu ‘sebab atau kausa yang halal’, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, karena
pegawai PPPK adalah juga pegawai ASN, oleh karena itu ketentuan mengenai
lamanya cuti melahirkan untuk PPPK dapat merujuk pada cuti melahirkan PNS pada
UU ASN dan PP 11/2017 yaitu 3 bulan.
Demikian
jawaban dari kami,
semoga bermanfaat.
Ttd,
Ketua Umum DPP-SPAI
Jamali Burma
0 komentar:
Posting Komentar