Kebijakan desentralisasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun unsur pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak manfaat secara langsung. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini adalah maraknya pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah Perda CSR. Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Serang sudah mensahkan Perda CSR. Sedangkan Kabupaten Serang dan Kota Cilegon sedang merangpungkan draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) CSR.
Munculnya
Peraturan Daerah (Perda) CSR merupakan bagian dari fenomena implementasi
otonomi daerah, namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting
diterbitkannya Perda CSR, karena berdasarkan pemberitaan yang ada, wacana yang
muncul tidak lepas dari upaya menghimpun dana CSR (Raperda CSR di
Rancang, Radar Banten 01/02/2010), bukan pada bagaimana
pemerintah mengontrol penerapan CSR perusahaan agar mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat setempat, berjalan berkelanjutan, dan sesuai konsep pemberdayaan
masyarakat (community empowerment). Substansi CSR sendiri bukan pada
aspek penghimpunan dana dan pembangunan infrastruktur semata, tapi bagaimana
perusahaan mampu mengintegrasikan perhatian terhadap aspek sosial dan
lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan (Europe
Commission, 2004).
Disisi
lain, belum ada peraturan yang bisa dijadikan sebagai payung hukum Perda CSR,
karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tanggungjawab Sosial dan
Lingkungan sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas
Nomor 40 Tahun 2007 sampai dengan saat ini belum selesai dibahas di DPR. Jikapun
Perda mengacu pada Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL), Undang-undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang Penanaman Modal, atau Undang-Undang Minyak dan Gas
Bumi. Keempat peraturan tersebut bersifat wajib pada domain perusahaan yang
berbeda, mulai dari statuta, jenis usaha, cakupan dan lokasi perusahaan.
Pada
aspek lain, belum optimalnya perusahaan dalam menjalankan aktivitas CSR menjadi
salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perda. Terdapat beberapa indikator
yang bisa dijadikan sebagai ukuran sejauhmana keseriusan perusahaan menjalankan
aktivitas CSR. Diantaranya, Pertama, tidak semua
perusahaan memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai CSR. Kedua, tidak
semua perusahaan memiliki departemen atau divisi khusus yang menangani CSR,
karena selama ini aktivitas CSR masih dirangkap oleh divisi Hubungan Masyarakat
(Humas) atau Human Resources Development (HRD). Ketiga, perusahaan
tidak fokus menyiapkan Sumber daya Manusia (SDM) yang memiliki kapasitas
dalam mengelola CSR(Rahmatullah, 2011). Ketiga aspek tersebut pada
akhirny hanya melahirkan kegiatan CSR yang bentuknya karitatif
atau sumbangan semata yang jauh dari konteks tanggungjawab berkelanjutan (sustainable
responsibility), padahal dalam tatanan global, pelan atau pasti perusahaan
yang produknya terkait ekspor dan impor direkomendasikan mengikuti panduan ISO
26000 tentang Social Responsibility yang penerapannya dimulai
pada tahun 2010.
Munculnya
Perda CSR setidaknya memunculkan 4 (empat) kemungkinan: pertama,
ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada
perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah
yang bersumber dari pihak ketiga. Ketiga, Pemda berupaya mengelola
program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan
tata laksananya. Keempat, pihak perusahaan tidak serius dalam
mendesain dan melaksanakan program CSR.
II. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Dasar CSR
Perkembangan
CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The
Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam
memenuhi kebutuhan mereka. The Brundtland Comission merupakan
komisi yang dibentuk untuk menanggapi meningkatnya keprihatinan dari para
pemimpin dunia menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber
daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini mencermati dampak kerusakan
lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial.
(Solihin: 2009).
Pengenalan
konsep Sustainability Development memberikan dampak kepada
perkembangan definisi dan konsep CSR. The Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai kontribusi bisnis bagi
pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak
semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para
karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan
perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang
dianggap penting serta nilai-nilai yang ada
di masyarakat. Sedangkan Sustainability Development adalah The
World Business Council for Sustainability Development (WBCSD)
mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan dari para
pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup
dari para pekerja dan keluarganya, demikian pula masyarakat lokal dan
masyarakat secara luas (Budimanta, 2004).
Setidaknya
terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR
agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan (Wibisono:
2007), yaitu: Pertama, perusahaan adalah bagian dari
masyarakat, oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan
masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam tatanan
lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya
imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh
perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif.
Kedua,
kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.
Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, wajar bila perusahaan dituntut
untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta
harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan.
Ketiga,
kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan
konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional
perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara
masyarakat dengan komponen perusahaan.
Pada
hakikatnya CSR adalah nilai yang melandasi aktivitas perusahaan, dikarenakan
CSR menjadi pijakan komperhensif dalam aspek ekonomi, sosial,
kesejahteraan dan lingkungan perusahaan. Perusahaan tidak boleh
mengimplementasikan CSR secara parsial, misalnya
berupaya memberdayakan masyarakat lokal, sedangkan disisi lain
kesejahteraan karyawan yang ada di dalamnya tidak
terjamin, atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak,
suburnya praktik korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak. Oleh karena itu
dalam CSR tercakup didalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang
lainnya saling berkaitan (Tanari, 2009), diantaranya:
a. Landasan
pokok CSR dalam aktivitas ekonomi, meliputi: kinerja Keuangan berjalan baik, investasi
modal berjalan sehat, kepatuhan dalam pembayaran pajak, tidak terdapat
praktik suap/korupsi tidak ada konflik kepentingan, tidak dalam keadaan
mendukung rezim yang korup, menghargai hak atas kemampuan intelektual/paten,
dan tidak melakukan sumbangan politis/lobi,
b. Landasan pokok CSR dalam
isu lingkungan hidup, meliputi: tidak melakukan pencemaran, tidak
berkontribusi dalam perubahan iklim, tidak berkontribusi atas limbah, tidak
melakukan pemborosan air, tidak melakukan praktik pemborosan energi, tidak
melakukan penyerobotan lahan, tidak berkontribusi dalam kebisingan , dan
menjaga keanekaragaman hayati
c. Landasan
pokok CSR dalam isu sosial, meliputi: menjamin kesehatan karyawan atau
masyarakat yang terkena dampak, tidak mempekerjakan anak, memberikan dampak
positif terhadap masyarakat, melakukan proteksi konsumen,
menjunjung keberanekaragaman, menjaga privasi, melakukan praktik derma
sesuai dengan kebutuhan, bertanggungjawab dalam proses Outsourcing dan off-shoring,
dan akses untuk memperoleh barang-barang tertentu dengan harga wajar
d. Landasan pokok CSR dalam isu
kesejahteraan, meliputi: memberikan kompensasi terhadap karyawan, memanfaatkan
subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah, menjaga kesehatan karyawan,
menjaga keamanan kondisi tempat kerja, menjaga keselamatan dan kesehatan kerja,
dan menjaga keseimbangan kerja/hidup
Selain
itu perusahaan bukanlah entiatas tunggal, melainkan menjadi bagian dari
pemangku kepentingan (stakeholder). Secara sederhana definisi stakeholder adalah
kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi
tersebut sebagai dampak dari aktifitas-aktifitasnya (Tanari, 2009). Stakeholder terdiri
dari:
a.
Pelanggan: berhak mendapatkan produk berkualitas, dan harga yang
layak.
b.
Masyarakat: berhak
mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis, dan mendapatkan
hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
c.
Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja,
mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan perlakukan yang adil dan non
diskriminasi
d.
Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham yang layak dan
keuntungan saham.
e.
Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap perlindungan alam,
dan mendapatkan rehabilitasi
f.
Pemerintah: berhak mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan
hukum
g.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): berhak menjalankan fungsi
kontrol baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan.
Dalam
konteks penerapan CSR, stakeholder wajib dirangkul dan
dilibatkan baik dalam tahap perencanaan, implemantasi dan evaluasi.
Jikapun stakeholder tidak dilibatkan dalam proses perencanaan,
setidaknya mendapatkan kontribusi berupa dampak positif dari program yang
dilaksanakan. Andai terdapat satu stakeholder tidak
mendapatkan manfaat atau kepuasan dari perusahaan, maka berpotensi menjadi
masalah bagi keberlanjutan perusahaan dikemudian hari.
2. Peraturan Terkait CSR
Saat
ini baru terdapat 4 (empat) aturan hukum yang mewajibkan perusahaan tertentu
melaksanakan aktivitas CSR atau tanggungjawab sosial dan lingkungan, serta satu
panduan (guidance) internasional mengenai tanggungjawab
berkelanjutan (sustainability responsibility), diantaranya:
Pertama,
bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaknasakan Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN: Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6)
dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya
disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan
usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari
bagian laba BUMN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program
Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari
bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan, meliputi: bantuan korban bencana alam; bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; bantuan peningkatan kesehatan; bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; bantuan sarana ibadah;dan bantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan
bagi Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola Sumber Daya Alam (SDA)
diwajibkan melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, karena telah
diatur dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007. Dimana dalam pasal 74
diatur bahwa : (1) Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga,
bagi penanaman modal asing, diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, daalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa "Setiap
penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Sanksi-sanksi
terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam
Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya,
meliputi: (a). Peringatan tertulis; (b).
pembatasan kegiatan usaha; (c). pembekuan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal; atau (d). pencabutan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal
Keempat,
bagi perusahaan pengelola minyak dan
gas bumi, terikat oleh Undang-undang No 22 Tahun 2001, tentang
Minyak dan Gas Bumi, Pasal 13 ayat 3 (p), menyebutkan bahwa: ”Kontrak
Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling
sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu : (p). pengembangan masyarakat
sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”. Jadi
berdasarkan Undang-undang tersebut, perusahaan yang operasionalnya terkait
Minyak dan Gas Bumi baik pengelola eksplorasi maupun distribusi, wajib
melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat
adat yang berada di sekitar perusahaan.
Kelima,
ISO 26000, merupakan standar internasional dalam bidang Corporate
Social Responsibility. Di dasarkan pada Pemahaman bahwa Sosial
Responsibility sangat penting bagi keberlanjutan usaha. Fokus ISO
adalah tata kelola organisasi, Hak
Asasi manusia (HAM), ketenagakerjaan, lingkungan, fair
operating /praktek operasi yang adil, isu konsumen dan Pengembangan
masyarakat. ISO sendiri bertujuan membantu
berbagai bentuk organisasi dalam pelaksanaan social responsibility. Dengan
cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman
publik terhadap social responsibility.
Jika dilihat dari peraturan diatas, urusan terkait dengan
CSR merupakan domain pemerintah pusat, karena baik Peraturan Menteri BUMN,
Undang-Undang PT, Undang-Undang PMA, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi dibuat
oleh DPR bersama Pemerintah Pusat.
Sedangkan peran pemerintah daerah adalah melakukan monitoring dengan perangkat
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos) dan mengkaji
sejauhmana perusahaan mampu memberikan manfaatnya kepada stakeholder dalam
hal ini masyarakat setempat. Pemda tidak berkewenangan dalam mengatur CSR yang
merupakan urusan program perusahaan terlebih masalah pengelolaan dananya,
kecuali menjalin kerjasama antar stakeholder didasarkan pada
program dan skala prioritas yang sama terkait upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat setempat.
III. Kepentingan Perusahaan dan
Pemerintah Daerah
Dalam pembuatan Perda CSR, pihak DPRD maupun pemerintah
terkadang tidak memperhatikan pihak yang menjadi objek yang dikenai
tanggungjawab Perda, dalam hal ini perusahaan. Seharusnya pemerintah memahami
konstruksi berpikir perusahaan, karena akan menjadi kontradiktif ketika pada
satu sisi daerah berupaya menarik investor untuk menanamkan
modalnya, sedangkan disisi lain akibat terlalu banyaknya aturan, biaya formal maupun informal, malah membuat investor enggan
menanamkan investasinya. Berdasarkan penelitian BAPPENAS dan LIPI pada tahun
2008, dikemukakan bahwa terdapat enam alasan hambatan investasi di Indonesia,
diantaranya: pertama, belum
optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah. Kedua, kualitas infrastruktur yang kurang
memadai. Ketiga,
masih cukup panjangnya perizinan investasi sehingga masih tingginya biaya
perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara kompetitir. Keempat, belum tercukupinya pasokan energi yang
dibutuhkan untuk kegiatan industri. Kelima masih
cukup banyak peraturan daerah yang menghambat iklim investasi. Keenam, masih terkonsentrasinya sebaran investasi di Pulau Jawa, dan
belum optimalnya pelaksanaan alih teknologi.(http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/29432/Enam-Hambatan-Investasi-di-Indonesia).
Berdasarkan
alasan diatas, perusahaan memiliki logika
berpikir atas kalkulasi sederhana, biaya izin usaha termasuk pajak di Indonesia
lumayan besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai
hilir, belum lagi perizinan turunan di tingkat provinsi, kabupaten hingga
kecamatan. Ditambah biaya-biaya informal untuk mempercepat proses perizinan, jatah-jatah pihak-pihakl yang berkepentingan, proposal pembangunan masjid, pembangunan sekolah dan
lainnya. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan Perda yang
mengatur CSR, terlebih substansinya ditekankan pada menghimpun dana CSR
perusahaan, bukan bagaimana seharusnya melakukan prkatik CSR secara ideal.
Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan
hak-hak buruh, peningkatan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan lain sebagainya, tanpa harus
dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang secara mendasar sudah diatur dalam
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencanana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos). Sebetulnya
keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tinggal dievaluasi pada level itu,
karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika
perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang
terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga hasilnya bisa
”diatur” pemerintah dan perusahaan, yang dirugikan selalu masyarakat setempat.
Secara
hakikat berbicara CSR bukanlah hal yang mudah dalam arti menetapkan program
asal jalan, asal sumbang, asal bangun dan asal ada anggaran, yang ada pada
akhirnya malah merusak kapital sosial masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan
pertimbangan matang sesuai kebutuhan masyarakat bukan keinginan masyarakat
sebagaiana telah diurai dalam kerangka pemikiran diatas.
Setidaknya
terdapat lima tahap dalam melakukan CSR yaitu need
assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan
program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan
bantuan) dan evaluation (evaluasi) dan After Care (Adi,
2007). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan mereka yang ahli
dan memiliki kapasitas dalam pengelolaannya, karena program CSR berkaitan
dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, dan
kepentingan stakeholder (Rahmatullah, 2011). Apakah
pemerintah daerah melalui pembuatan Perda CSR yang bernuansa pengelolaan dana
bersama, mampu menjamin terlaksananya aspek-aspek tersebut.
Alangkah
lebih baik jika pembuatan Perda CSR bukan menjadi sebuah ‘demam’ atau budaya
ikut-ikutan antar daerah sebagai bentuk kebablasan di era otonomi daerah,
didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara
mendalam. CSR memang merupakan bentuk kewajiban bagi perusahaan tertentu, tapi
harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah
daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’, Jangankan
mengatur CSR, gaji buruh saja misalnya masih dibawah UMK, kondisi kesehatan
perusahaan-pun hidup segan mati tak mau. Lebih baik pemerintah melalui
kewenangannya memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos. Jangan
sampai Pembuatan Perda CSR hanya membuang energi dan biaya percuma, lalu
dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri dikarenakan tidak ada referensi hukum
atau berbenturan dengan aturan hukum diatasnya, sebagaimana pada tahun 2002,
terdapat 402 Peraturan Daerah yang dibatalkan (http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/03/05/d/a/daftar_kepmen_pembatalan_perda_data_2002-2009.pdf). Jikapun Pemda ingin
membenahi pola pelaksanaan CSR perusahaan, salah satu
langkanya adalah melakukan koordinasi dan sinkroisasi program yang sejalan
didasarkan basis data dan kebutuhan yang terukur. Selain itu
pemerintah wajib melakukan evaluasi sejauhmana pelaksanaan CSR
yang perusahaan lakukan, sudah memberdayakan masyarakat lokal atau
malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan catatan perbaikannya dalam
bentuk rekomendasi yang sifatnya berkelanjutan.
Terimakasih
agar bermamfaat,
Ttd,
Ketua
DPP-SPAI
Jamali
Burma
https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id
0 komentar:
Posting Komentar