MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Kamis, 08 Februari 2018

PKWT PEKERJA OUTSOURCING



Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan
  1. Apa perbedaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dengan Outsourcing?
  2. Apakah Undang-Undang mengatur mengenai perjanjian kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing?
  3. Apa yang harus dimuat dalam Perjanjian Kerja Tidak Tertentu pada perusahaan penyedia jasa (outsourcing)?
Apa perbedaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dengan Outsourcing?
Outsourcing = Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan pemberi kerja memborongkan sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan pemborong atau perusahaan penyedia tenaga kerja melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja.
Hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja dapat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu  atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini.
Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja dari perusahaan pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan tersebut. Status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja yang dipekerjakan langsung atau pekerja yang melalui outsourcing boleh saja dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang – Undang No. 13 tahun 2003.
Apakah Undang-Undang mengatur mengenai perjanjian kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing?
Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara Saudara -selaku pekerja/buruh- dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No. 13.2003 pasal 66 ayat 2 huruf b, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, adalah PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak.
Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
·   pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalan satu perusahaan, atau
·   pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003).
Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan yang bersifat tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT.
Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja dapat dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk “perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK Register Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking Protection Employment (TUPE) yang mengamanatkan:
·   pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing.
·   masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat experience letter
·   experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
Apa yang harus dimuat dalam Perjanjian Kerja Tidak Tertentu pada perusahaan penyedia jasa (outsourcing)?
Atas dasar Putusan MK tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, khususnya PKWT pada perusahaan penyedia jasa pekerja, bahwa PKWT-nya, sekurang-kurangnya memuat:
·   jaminan kelangsungan bekerja;
·   jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
·   jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah;
Demikian juga memuat hak-hak lainnya, seperti
·   hak atas ganti-rugi (kompensasi diakhirinya hubungan kerja PKWT);
·   penyesuaian upah berdasarkan -akumulasi- masa kerja;
·   dan hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja (PKWT) sebelumnya.

Demikian terimakasih semoga bermamfaat
ttd, Ketua Umum DPP-SPAI
Jamali Burma
Share:

Selasa, 06 Februari 2018

Tata Cara Pengajuan Permohonan Rehabilitasi Narkotika


Apa bisa meminta rehabilitasi pada kasus narkoba? Bagaimana cara meminta permohonan rehabilitasi di dalam pengadilan?

Jawaban : Oleh Ketua Umum DPP-SPAI Jamali Burma



Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi. Jaksa Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan dan Hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, dapat meminta bantuan kepada Tim Asesmen Tepadu setempat untuk melakukan asesmen terhadap Terdakwa.


Penjelasan lebih lanjut soal syarat dan tata caranya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

  
Macam-Macam Rehabilitasi Narkotika
Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika(“UU Narkotika”) dikenal 2 (dua) macam rehabilitasi narkotika, yaitu:
1.    Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.[1]
2.    Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.[2]

Pihak yang Direhabilitasi Narkotika
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[3] Hal ini diperjelas dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (“Peraturan BNN 11/2014”) yang mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.

Waktu Diputuskannya Rehabilitasi
Putusan hakimlah yang menentukan apakah yang bersangkutan (dalam hal ini Pecandu Narkotika) menjalani rehabilitasi atau tidak berdasarkan pada terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan. Artinya, ada proses pemeriksaan di pengadilan dulu sebelum adanya putusan hakim yang menentukan seseorang direhabilitasi atau tidak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika:

(1)   Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a.    memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.

b.    menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.

(2)  Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Begitu pula untuk Penyalah Guna narkotika (termasuk yang kemudian menjadi korban penyalahgunaan narkotika), penentuan apakah ia direhabilitasi atau tidak tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwadalam hal Penyalah Guna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan; tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu; penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi.[4] Penjelasan lebih lanjut akan kami jelaskan di bawah ini.

Syarat Permohonan Rehabilitasi
Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari laman Badan Narkotika Nasional (“BNN”), syarat-syarat permohonan rehabilitasi itu adalah
1.    Surat Permohonan Bermaterai ke BNN berisi antara lain:
a.    Identitas pemohon/tersangka
b.    Hubungan Pemohon dan tersangka
c.    Uraian Kronologis dan Pokok Permasalahan Penangkapan Tersangka
2.    Pas Foto tersangka 4 x 6 (1 lembar)
3.    Foto Copy Surat Nikah bila pemohon suami/istri tersangka
4.    Foto Copy Surat Izin Beracara bila pemohon adalah Kuasa Hukum/Pengacara Tersangka dan surat kuasa dari keluarga
5.    Surat Keterangan dari Sekolah/Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan, bila tersangka adalah pelajar/Mahasiswa
6.    Surat keterangan dari tempat kerja, bila tersangka sebagai pekerja/pegawai
7.    Fotocopi surat penangkapan dan surat penahanan
8.    Surat Keterangan dari tempat rehgabilitasi, bila yang bersangkutan pernah atau sedang proses Rehabilitasi
9.    Surat Rekomendasi dari penyidik, Jaksa Penuntut umum atau hakim untuk direhabilitasi/asesmen
10. Fotocopi Surat Permohonan Rehabilitasi kepada Penyidik, Jaksa Penuntut Umum atau Hakim
11. Surat Pernyataan bermaterai
12. Menunjukkan Surat Penangkapan dan Penahanan Asli
13. Foto copy KTP Orang Tua/Wali, Tersangka dan Pengacara/ Kuasa Hukum
14. Foto copy kartu keluarga
15. Foto copy izin dari pengacara

Tata Cara Pengajuan Permohonan Rehabilitasi Narkotika
A.   Pecandu Narkotika

1.    Dalam Hal Pecandu Narkotika Belum Cukup Umur
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[5]

2.    Dalam Hal Pecandu Narkotika Sudah Cukup Umur
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[6]

B.   Pedoman Teknis Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang Direhabilitasi
Sedangkan, pedoman teknis penanganan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum yang telah ditetapkan sebagai Tersangka untuk dapat menjalani rehabilitasi adalah Peraturan BNN 11/2014.

Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.[7]

Penentuan rekomendasi rehabilitasi ini berdasarkan hasil rekomendasi Tim Asesmen Terpadu.[8]
                  
Tata Cara Permohonan Rehabilitasi
Dalam konteks pertanyaan Anda soal permohonan rehabilitasi dalam pengadilan, kami simpulkan bahwa permohonan ini dilakukan kepada jaksa (tingkat penuntutan) atau hakim (tingkat pemeriksaan). Syarat permohonan telah kami sampaikan di atas.

Kemudian, setelah itu Jaksa Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan dan Hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, dapat meminta bantuan kepada Tim Asesmen Tepadu setempat untuk melakukan asesmen terhadap Terdakwa.[9]

Jadi, Jaksa Penuntutan Umum atau Hakim lah yang meminta bantuan untuk terlebih dahulu melakukan asesmen terhadap terdakwa.

Bantuan asesmen ini dilakukan berdasarkan Peraturan BNN 11/2014 ini dan hasilnya diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum atau Hakim dengan Berita Acara penyerahan rekomendasi hasil asesmen.[10]

Jadi, meskipun Peraturan BNN 11/2014 pada dasarnya adalah pedoman teknis penyidik (tingkat penyidikan) untuk memohon penempatan rehabilitasi kepada tersangka/terdakwa setelah dilakukan asesmen, namun dalam tingkat penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan, jaksa atau hakim dapat memohon asesmen pula kepada Tim Asesemen Terpadu yang tata caranya berdasarkan Peraturan BNN 11/2014.

Tugas Tim Asesmen Terpadu
Tim Asesmen Terpadu mempunyai tugas untuk melakukan:[11]
a.    asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan.
b.    analisis terhadap seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan dalam kaitan peredaran gelap Narkotika dan penyalahgunaan Narkotika.

Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

Oleh : Ketua Umum DPP-SPAI Jamali Burma

https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id


Share: