MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Selasa, 21 November 2017

GUBERNUR IRWANDI TETAPKAN UMP ACEH 2018 SEBESAR Rp 2,7 JUTA

Gubernur Irwandi Tetapkan UMP Aceh 2018 Sebesar Rp 2,7 Juta

Gubernur Irwandi Tetapkan UMP Aceh 2018 Sebesar Rp 2,7 Juta
Aceh - Upah minimum provinsi (UMP) Aceh tahun 2018 naik menjadi Rp 2,7 juta. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar Rp 200 ribu dari 2017 sebesar Rp 2,5 juta.

Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh Mulyadi Nurdin mengatakan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menetapkan UMP 2018 berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 67 Tahun 2017. Pergub tersebut diteken Irwandi pada 7 November 2017.

"Besaran gaji Rp 2,7 juta per bulan tersebut merupakan upah bulanan terendah dengan hitungan waktu kerja 40 jam per minggu," kata Mulyadi dalam keterangan kepada detikcom, Rabu (8/11/2017).

"Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 2, 3, dan 5 pergub tersebut, dan UMP tersebut berlaku bagi pekerja/buruh lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun," ungkap Mulyadi.

Setelah UMP ini ditetapkan, pengusaha di Aceh tidak boleh lagi membayar karyawan di bawah upah minimum. Sedangkan mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan perundang-undangan.

"Bagi buruh dengan masa kerja satu tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan," ungkap Nurdin.

Peraturan tersebut berlaku bagi seluruh pekerja/buruh dan karyawan, baik di perusahaan swasta, BUMN/BUMD, dan segala usaha sosial lain. Untuk pengawasannya akan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.

"Gubernur Aceh meminta pengusaha dan perusahaan di Aceh agar mematuhi peraturan tersebut dan menerapkan UMP baru terhitung mulai tanggal 1 Januari 2018," kata Mulyadi. 

https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id
Share:

Minggu, 19 November 2017

Pengurus DPP-SPAI Menyerahkan Bendera Ke Pangdam IM

Pengurus DPP-SPAI menyerahkan Bendera Serikat Pekerja Aceh Indonesia SPAI ke Pangdam Iskandar Muda diterima mewakili oleh Kolonel Inf Mahesa, F diruang kerjanya di Kodam IM, dan membahas berbagai hal tentang pengentasan pengangguran.

Share:

Pertemuan Humas Polda Aceh Dengan Pengurus DPP-SPAI


Pengurus Pusat Serikat Pekerja Aceh Indonesia SPAI melakukan pertemuan dengan Humas Polda Aceh Kombes Goenawan di ruang kerjanya di Polda Aceh, membahas tentang langka-langkah yang ditempuh kedepan tentang pekerja/buruh

Share:

Pertemuan Komisi VI dengan Pengurus SPAI

Pertemuan dengan komisi VI DPRA dengan Serikat Pekerja Aceh Indonesia SPAI yang di pimpin oleh Wakil Ketua Komisi VI Sulaiman Ali, dari SPAI di Pimpin oleh Jamali, dalam pertemuan tersebuat membahas tentang hal di lapangan antara pekerja dengan perusahaan teruma tentang masalah UMP dan lainnya.
Share:

ANDA PEKERJA ? KENALI HAK-HAK ANDA SESUAI DENGAN UU NO. 13 THN 2003

Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI Jamali Burma
Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia menurut Badan Pusat Statsitik yang diterbitkan tahun 2015 mencapai 120 juta. Jumlah penduduk yang bekerja terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk melindungi hak-hak pekerja maka Pemerintah menetapkan dasar kebijakannya dalam bentuk Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa hanya sedikit dari pekerja yang memahami hak-hak mereka yang telah diatur dalam Undang-Undang. Hal ini menjadi santapan manis bagi para pengusaha untuk menekan biaya melalui penyelewengan hak-hak pekerja. Lalu, apa saja yang menjadi hak pekerja dalam Undang-Undang tersebut? Berikut penulis akan menjabarkan hak-hak yang dimiliki pekerja yang telah dilindungi oleh Undang-Undang.
  1. Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi.
Hak ini diatur dalam pasal 6 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Artinya, Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, warna kulit, keturunan, dan aliran politik.
  1. Hak memperoleh pelatihan kerja.
Hak ini diatur dalam pasal 11 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja” .
Serta pasal 12 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “ Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja”
Artinya, selama bekerja pada suatu perusahaan maka setiap pekerja berhak mendapatkan pelatihan kerja. Pelatihan kerja yang dimaksud merupakan pelatihan kerja yang memuat hard skills maupun soft skills. Pelatihan kerja boleh dilakukan oleh pengusaha secara internal maupun melalui lembaga-lembaga pelatihan kerja milik pemerintah, ataupun lembaga-lembaga pelatihan kerja milik swasta yang telah memperoleh izin. Namun yang patut digaris bawahi adalah semua biaya terkait pelatihan tersebut harus ditanggung oleh perusahaan.
  1. Hak pengakuan kompetensi dan kualifikasi kerja.
Hak ini diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan komptensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.”
Serta dalam pasal 23 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.”
Artinya, setelah pekerja mengikuti pelatihan kerja yang dibuktikan melalui sertifikat kompetensi kerja maka perusaahaan/pengusaha wajib mengakui kompetensi tersebut. Sehingga, dengan adanya pengakuan maka dapat menjadi dasar bagi pekerja untuk mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan kompetensinya.
  1. Hak Memilih penempatan kerja.
Hak ini diatur dalam pasal 31 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri
Artinya, setiap pekerja memiliki hak untuk memilih tempat kerja yang diinginkan. Tidak boleh ada paksaan ataupun ancaman dari pihak pengusaha jika pilihan pekerja tidak sesuai dengan keinginan pengusaha.
  1. Hak-Hak pekerja Perempuan dalam UU No 13 Tahun 2003:pekerja-wanita
    • Pasal 76 Ayat 1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23:00 s.d. 07:00.
    • Pasal 76 Ayat 2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya sendiri apabila bekerja antara pukul 23:00 s.d. 07:00.
    • Pasal 76 Ayat 3. Perempuan yang bekerja antara pukul 23:00 s.d. 07:00 berhak mendapatkan makanan dan minuman bergisi serta jaminan terjaganya kesusilaan dan keamanan selama bekerja.
    • Pasal 76 Ayat 4. Perempuan yang bekerja diantara pukul 23:00 s.d. 05:00 berhak mendapatkan angkutan antar jemput.
    • Pasal 81. Perempuan yang sedang dalam masa haid dan merasakan sakit, lalu memberiktahukan kepada pengusaha, maka tidak wajib bekerja di hari pertama dan kedua pada waktu haid.
    • Pasal 82 ayat 1. Perempuan berhak memperoleh istirahat sekana 1,5 bulan sebelum melahirkan, dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
    • Pasal 82 ayat 2. Perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak mendapatkan istriahat 1,5 bulan atau sesuai keterangan dokter kandungan atau bidan.
    • Pasal 83. Perempuan berhak mendapatkan kesempatan menyusui anaknya jika harus dilakukan selama waktu kerja.
  1. Hak lamanya waktu bekerja dalam Pasal 77 UU No 13 Tahun 2003:
    • 7 jam sehari setara 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau
    • 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
  1. Hak bekerja lembur dalam pasal 78 UU No 13 Tahun 2003:
    • Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam sehari.
    • Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 14 jam seminggu.
    • Berhak Mendapatkan Upah lembur.
  1. Hak istirahat dan cuti bekerja dalam pasal 79 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003:
    • istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
    • Istirahat mingguan sehari untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam seminggu ;
    • Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
    • Istirahat panjang, sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
  1. Hak beribadah.
Pekerja/buruh sesuai dengan pasal 80 UU No 13 Tahun 2003, berhak untuk mendapatkan kesempatan melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Dalam hal ini, bagi pekerja yang beragama islam berhak mendapatkan waktu dan kesempatan untuk menunaikan Sholat saat jam kerja, dan dapat mengambil cuti untuk melaksanakan Ibadah Haji. Sedangkan untuk pekerja beragama selain islam, juga dapat melaksanakan ibadah-ibadah sesuai ketentuan agama masing-masing.
  1. Hak perlindungan kerja.
Dalam hal perlindungan kerja, setiap pekerja/buruh dalam pasal 86 UU No 13 Tahun 2003 berhak mendapatkan perlindungan yang terdiri dari:
  • Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  • Moral dan Kesusilaan.
  • Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai – nilai agama.
  1. Hak meendapatkan upah
    • Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi KenaikanUMP2016penghidupan layak bagi kemanusiaan yang disesuaikan denagan upah minimum provinsi atau upah minimum kota, atau upah minimum sektoral.
    • Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak istirahat sesuai pasal 79 ayat 2, pasal 80, dan pasal 82, berhak mendapatkan upah penuh.
    • Setiap pekerja/buruh yang sedang sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, maka berhak untuk mendapatkan upah dengan ketentuan pada pasal 93 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003 :
      • 4 bulan pertama mendapatkan upah 100%
      • 4 bulan kedua mendapatkan upah 75%
      • 4 bulan ketiga mendapatkan upah 50%
      • Untuk bulan selanjutnya mendapatkan upah 25%, selama tidak dilakukan PHK.
  1. Hak Kesejahteraan.
Setiap pekerja/buruh beserta keluarganya sesuai dengan yang tertera pada pasal 99 UU No 13 Tahun 2003 berhak mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja pada saat ini dapat berupa BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.
  1. Hak bergabung dengan serikat pekerja.
Setiap pekerja/buruh berhak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh sesuai dengan yang tertera pada pasal 104 UU No 13 Tahun 2003.
  1. Hak Mogok Kerja.
Setiap pekerja/buruh berhak untuk melakukan mogok yang menjadi hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan yang tertera pada pasal 138 UU no 13 tahun 2003. Namun, mogok kerja harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
  1. Hak uang pesangon.
Setiap pekerja /buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berhak mendapatkan pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang pergantian hak, dengan ketentuan pada pasal 156 UU no 13 tahun 2013 :
Perhitungan uang pesangon
  1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulanupah;
  3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)bulan upah;
  5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)bulan upah;
  7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
  8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan penghargaan masa kerja
  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
Perhitungan uang penggantian hak
  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di manapekerja/buruh diterima bekerja;
  3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Hak-hak yang telah dijabarkan diatas merupakan hak pekerja/buruh/karyawan yang telah dilindungi oleh undang-undang. Jika pekerja/buruh/karyawan merasa hak-haknya tersebut tidak diberikan oleh pengusaha, maka pekerja/buruh/karyawan dapat menuntut pengusaha melalui proses-proses yang telah ditetapkan oleh undang-undang. InsyaAllah jika tidak ada halangan, akan saya informasikan proses-proses penuntutannya bulan depan.
Semoga informasi yang saya berikan kali ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Saya berharap dengan tulisan ini maka pihak pengusaha dan pihak pekerja dapat saling menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang.

https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id
Share:

Kamis, 09 November 2017

Konflik Karyawan dan Pemilik SPBU Blang Beurandang Berakhir di Meja Mediasi






Konflik Karyawan dan Pemilik SPBU Blang Beurandang Berakhir di Meja Mediasi
Karyawan menyandera mobil tangki minyak saat berdemostrasi di SPBU Blang Beurandang.

ACEH BARAT - Konflik antara karyawan Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) Blang Beurandang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, akhirnya selesai di meja mediasi. Dalam mediasi tersebut, pihak perusahaan sudah bersedia memenuhi seluruh tuntutan karyawan.
Kuasa hukum karyawan SPBU Blang Berandang, Herman mengatakan perselihan antara para karyawan SPBU sudah mulai mulai bergejolak sejak 10 Desember 2015. Dan sudah beberapa kali dilakukan pendekatan, namun tidak melahirkan kesepakatan seperti yang diharapkan.

“Sebelumnya 10 Desember pihak perusahaan sempat meminta penandatanganan kontrak yang berlaku dari Desember 2015, dan berakhir Desember 2016, namun karena tidak sesuai Upah Minumum Provinsi (UMP), para karyawan SPBU itu menolaknya,” kata Herman.
Atas penolakan tersebut, pihak perusahaan pun melakukan pemberhentian kerja secara sepihak terhadap enam karyawannya yakni Nurhayati, Jasmaniar, Syantia Devi, Yulia Widesri, Rosma Yuninur Winingsih dan Febrianti.

Dari beberapa kali mendiasi yang dilakukan oleh pihak mediator yakni Disnaker Provinsi Aceh, kata dia, baru pada Rabu (8/3) lalu, apa yang menjadi tuntutan para karyawan dipenuhi oleh pemiliki perusahaan.

Adapun kesepakatan yang dipenuhi pihak perusahaan, yaitu pihak perusahaan telah bersedia memenuhi upah atau pesangon para pekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Subtansi yang dituangkan dalam perjanjian telah disepakati dan ditandangani kedua pihak yang bertikai telah memenuhi unsur aturan dan prosedur ketenagakerjaan.
"Kami memberikan apresiasi kapada mediator yakni Disnaker Provinsi Aceh yang telah proaktif membantu memfasilitasi upaya penyelesaian hak- hak pekerja. Kami juga apresiasi kepada pemilik SPBU yang telah memiliki niat baik untuk memenuhi hak- hak pekerja, sehingga dengan ditantangani perjanjian bersama itu dan dengan penandatanganan konflik tersebut persoalan antara pekerja dan pemilik SPBU dianggap selesai," katanya.

Untuk itu, kata Herman, pihaknya berharap fungsi pengawasan dan hadirnya mediator ketengakerjaan di tingkat kabupaten di Aceh khususnya Aceh Barat dapat terealisasi dengan baik, dimana perlu ada langkah-langkah konkrit dari negara dalam hal ini pemerintah atau instansi terkait.

"Mediasi sendiri digelar di Banda Aceh, melibatkan pihak SPBU Blang Beurandang, enam pekerja, dan pihak mediator yakni dari Disnaker Provinsi Aceh," ujarnya. By Redaksi

Share:

BERKEMBANGNYA ALASAN-ALASAN PHK DALAM PRAKTIK

Alasan dan jenis pemutusan hubungan kerja terus berkembang dalam praktek. Pandangan pengadilan dalam tiap perkara PHK juga tidak seragam.

Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI
                     Jamali Burma


PHK. Susunan tiga huruf itu adalah momok yang sangat menakutkan bagi buruh. Betapa tidak. Nasib para buruh hampir pasti berantakan jika mendapatkan surat pemutusan hubungan kerja. Secara status, seseorang yang di-PHK tidak lagi menyandang predikat buruh di tempatnya bekerja semula. Kalau tak segera dapat kerja baru, ancaman pengangguran ada di depan mata. Secara ekonomi, mereka yang di-PHK bisa kehilangan sumber pencahariannya.

PHK alias pemutusan hubungan kerja memang bukan barang haram dalam hukum perburuhan di Indonesia. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

Secara normatif, ada dua jenis PHK, yaitu PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak sukarela. Ada beberapa alasan penyebab putusnya hubungan kerja yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan. PHK sukarela misalnya, yang diartikan sebagai pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan tekanan. Begitu pula karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa percobaan (probation), memasuki usia pensiun dan buruh meninggal dunia.

PHK tidak sukarela dapat terjadi antara lain karena buruh melakukan kesalahan berat seperti mencuri atau menggelapkan uang milik perusahaan atau melakukan perbuatan asusila  atau perjudian di lingkungan pekerjaan. Selama ini, alasan PHK karena kesalahan berat itu diatur dalam pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa kesalahan berat yang dituduhkan kepada buruh harus dibuktikan terlebih dulu oleh putusan peradilan pidana di pengadilan umum.

Selain itu PHK tidak sukarela juga bisa terjadi lantaran buruh melanggar perjanjian kerja, PKB atau PP. Perusahaan yang juga sedang melakukan peleburan, penggabungan dan atau perubahan status, memiliki opsi untuk mempertahankan atau memutuskan hubungan kerja. Nah, untuk konteks PHK tidak sukarela ini, hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh baru berakhir setelah ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Tidak demikian dengan PHK yang sukarela.

Alasan PHK
Kompensasi
Pengaturan di UU No 13/2003
Mengundurkan diri tanpa tekanan
Berhak atas UPH
Pasal 162 Ayat (1)
Tidak lulus masa percobaan
Tidak berhak kompensasi
Pasal 154
Selesainya PKWT
Tidak Berhak atas Kompensasi
Pasal 154 huruf b
Pekerja melakukan kesalahan berat
Berhak atas UPH
eks Pasal 158 Ayat (3)
Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 161 Ayat (3)
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 169 Ayat (1)
Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 153
PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (1)
PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi.
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (3)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (1)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (2)
Perusahaan pailit
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 165
Pekerja meninggal dunia
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 166
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
UPH dan Uang pisah
Pasal 168 Ayat (1)
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan)
2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
Pasal 172
Pekerja memasuki usia pensiun
opsional
Sesuai Pasal 167
Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Keterangan:
UP = Uang Pesangon, UPMK = Upah Penghargaan Masa Kerja,
UPH = Uang Penggantian                                  
Hak  sumber : https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id 

Berkembang dalam Praktik
Seperti disebutkan di atas, PHK memang menjadi momok tersendiri. Hampir semua buruh pasti tidak mau di-PHK. Karenanya, jika pengusaha memutuskan hubungan kerja, buruh akan mati-matian mempertahankan pekerjaan dan haknya.

Dalam praktik, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang diberikan kewenangan oleh UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) memang lebih banyak menangani perkara perselisihan PHK ketimbang perselisihan lainnya, yaitu hak, kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Hal ini menandakan maraknya praktik PHK yang tidak sukarela.

Salah satu alasan yang cukup sering digunakan pengusaha untuk menjatuhkan PHK adalah kesalahan buruh karena dianggap menyalahgunakan fasilitas kantor. Anehnya, ada beberapa perkara  dimana pengusaha masih menggunakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sebagai dasar memutuskan hubungan kerja. Sebut saja perkara antara PT Huntsman Indonesia melawan Sabar Siregar di PHI Jakarta. Dalam perkara ini, hakim menolak gugatan pengusaha karena Perjanjian Kerja Bersama yang masih mencantumkan Pasal 158 dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat lagi.

Namun, lain uban lain isi kepala. Masih di PHI Jakarta, majelis hakim yang lain malah menabrak kompetensi pengadilan pidana dengan memutuskan hubungan kerja antara Nudin melawan PT  Wisma Bumiputera karena dinilai terbukti melakukan penganiayaan terhadap rekan kerjanya sendiri. Padahal, belum ada putusan pidana yang menghukum Nudin.

Menarik untuk mencermati perkara antara Maruli Simatupang melawan PT Taylor Indonesia di PHI Jakarta. Majelis hakim pada akhirnya memutuskan hubungan kerja Maruli dengan perusahaan dan memberikan hak atas pesangon karenanya. Uniknya, Maruli dinyatakan bersalah telah memakai uang perusahaan hingga berpuluh-puluh juta. Artinya, tindakan Maruli sebenarnya dapat dikualifisir dalam kesalahan berat sebagaimana diatur pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Sementara eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa buruh yang diPHK karena kesalahan berat hanya berhak atas uang penggantian hak, namun hakim dengan pertimbanganya sendiri memutuskan untuk memberikan uang pesangon.

Perkara lain yang cukup menarik adalah perkara antara karyawan vs manajemen Hotel Grand Menteng. Para karyawan yang didampingi LBH Jakarta menggugat perusahaan karena dianggap melakukan intimidasi atau tekanan psikis sehingga para karyawan mengundurkan diri. Hakim PHI Jakartamengabulkan gugatan karyawan dengan menyatakan pengunduran diri karyawan tidak sah karena disertai ancaman. Pertimbangan hakim saat itu sangat sederhana. Para penggugat (karyawan, -red) adalah pekerja kelas menengah ke bawah. Di masa sulit seperti ini sangat tidak masuk akal kalau para pekerja mau mengundurkan diri secara sukarela, padahal tidak ada masalah yang berarti ketika penggugat bekerja di sana, begitu menurut hakim.

PHK Jenis Baru
Trend atau perkembangan ternyata juga menjangkit di perselisihan hubungan industrial. Untuk PHK misalnya. Selain yang sudah tegas diatur dalam undang-undang, alasan terjadinya PHK ternyata juga berkembang dalam praktik. Tentu saja harus dengan kesepakatan para pihak, yaitu buruh dan pengusaha, yang biasanya tertuang dalam Perjanjian kerja atau PKB.

Tengok pengalaman Dewi Anggraeni, Sekjen Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI) yang mendampingi beberapa pramugari yang di-PHKGaruda Indonesia karena tidak berhasil menurunkan berat badan. Untungnya, majelis hakim PHI Jakarta yang mengadili perkara ini menyatakan bahwa perusahaan telah membuat peraturan dan menjatuhkan sanksi secara sepihak sehingga PHK itu menjadi tidak sah.

Modus lain dari perkembangan PHK adalah tindakan pengusaha yang menyewakan perusahaannya, baik aset maupun buruhnya, kepada pengusaha lain. Dengan demikian, nasib buruh menjadi terkatung. Hal ini yang kini sedang diadvokasi oleh Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) terhadap buruh di Cikarang.  Ini adalah modus baru karena UU Ketenagakerjaan hanya mengenal PHK untuk perusahaan yang menggabungkan diri, melebur atau merubah statusnya. Eh, sekarang malah ada praktik menyewakan aset perusahaan dan buruhnya seperti ini? keluh Hermawanto, pengacara publik LBH Jakarta.

Yang agak mutakhir adalah kasus PHK karena pekerja mengikuti aliran agama tertentu. Hal itu yang dialami tiga orang karyawan yang dipecat badan pengelola sebuah masjid terkenal di Jakarta lantaran kedapatan mengikuti aliran Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Mushadeq. Dalam keputusan yang dibuat pada akhir Oktober 2007 itu, jelas seorang sumber hukumonline, ketiga karyawan ini disebutkan tidak berhak atas pesangon atau imbalan apapun. Patut dicatat bahwa UU Ketenagakerjaan jelas menyebutkan bahwa buruh atau pekerja tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif.

Jadi, dalam praktek, alasan untuk mem-PHK seseorang memang terus berkembang melampaui rumusan peraturan perundang-undangan.



Share: