MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Sabtu, 19 Agustus 2017




Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Aceh Indonesia DPP-SPAI
Jamali Burma

Ketua Umum DPP-SPAI menyarankan agar para pekerja saling bersatu dan menjaga kesetiakawanan sesama pekerja dan kesejahteraan pekerja dan keluarga, dalam pertemuan singkat dengan para Tenaga Kerja Indonesia TKI di Selangor Malaysia, Ketua Umum DPP-SPAI Jamali Burma juga sedang berusaha untuk melobi dana-dana untuk pemberdayaan ekonomi para pekerja/buruh ke beberapa instansi dan NGO luar negeri dan sedang berusaha mengadakan berbagai kegiatan pelatihan, pendidikan. By-spai

Share:

LAMBANG SERIKAT PEKERJA ACEH INDONESIA SPAI

                    
                                                Lambang Serikat Pekerja Aceh Indonesia SPAI

Share:

BENDERA SERIKAT PEKERJA ACEH INDONESIA SPAI

                                          
                                                Bendera Serikat Pekerja Indonesia SPAI

Share:

Jumat, 18 Agustus 2017

APAKAH PEKERJA LEPAS BERHAK MENDAPATKAN THR

 
Apakah Pekerja Lepas Berhak Mendapatkan THR ? 

Menjelang hari raya tentu kita tidak hanya mempersiapkan keperluan untuk ibadah dan menikmati hari libur, karena ini juga moment untuk berkumpul dengan seluruh sanak saudara. Adanya hari libur ketika hari raya juga menjauhkan kita sejenak dari silaunya layar komputer, proyek, atau suasana riuh gaduh di kantor. Dan tidak ketinggalan tentunya, menanti hak yang diperoleh karyawan ketika hari raya seperti THR (Tunjangan Hari Raya). “Eh tapi, THR itu hanya untuk karyawan kontrak atau pegawai tetap bukan ya? Pekerja lepas atau freelance apakah berhak mendapatkan THR juga?” Jawabannya tergantung berapa lama Anda bekerja sebagai pekerja lepas. Tadi pagi  saya baru saja membaca sebuah artikel dari laman Merdeka.com yang berjudul “Menaker: Pekerja lepas media berhak dapatkan THR” , di artikel tersebut Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri mengatakan bahwa pekerja lepas di perusahaan media yang bekerja tiga bulan berturut-turut berhak mendapat THR dengan sifat proporsional. Beliau juga menjelaskan dengan contoh, bila seorang pekerja lepas yang sudah bekerja empat bulan, maka perhitungan THR-nya adalah empat dibagi 12 bulan dikalikan satu bulan gaji. Dan bila ia sudah menjadi pekerja lepas selama lebih dari satu tahun maka THR yang akan diterima sebesar satu bulan gaji.

“Lah itu kan hanya untuk pekerja lepas di perusahaan media saja?” Tidak, di paragraf pertama di artikel tersebut mengatakan bahwa pemberlakuan pemberian tunjangan hari raya (THR) berlaku bagi semua perusahaan. Pengaturan mengenai  Tunjangan Hari Raya juga terdapat di Pasal 3 Permenaker 4/1994 yang berbunyi : 

(1) Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
  1. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
  2. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
(2) Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.
(3) Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja (KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.
Dari sini terlihat bahwa THR adalah hak Anda jika sudah sesuai dengan masa kerja dan peraturan yang ada.
Namun bagaimana bila perusahaan tetap tidak memberi THR? Menurut saya pribadi, bila ini adalah pengalaman pertama, lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu antara Anda dengan perusahaan. Karena bisa saja terdapat salah paham atau ada sesuatu yang memang luput dari pengawasan pimpinan terhadap hak-hak para pekerjanya.
Yang membahas tentang THR yang tidak diberikan oleh perusahaan, beberapa cara yang bisa dilakukan bisa dimulai dengan secara kekeluargaan, mediasi hubungan industrial, dan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI. Di laman tersebut juga menambahkan, bila “pengusaha tempat Anda bekerja tidak memberikan THR kepada Anda, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permenaker 4/1994, hal tersebut merupakan pelanggaran dan pengusaha dapat diancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja.”

Oleh : Ketua Umum DPP-SPAI
          Jamali Burma
Bila di hari yang ditunggu Anda sudah berhasil menerima THR, jangan lupa untuk mentraktir saya makan bakso, hehehe, bercanda biar tidak tegang bacanya. Terima kasih ya sudah membaca!
Share:

BOLEH PERUSAHAAN GUNAKAN SISTEM KERJA KERJA BORONGAN BUKAN KONTRAK

Bolehkan Perusahaan Gunakan Sistem Kerja Borongan bukan Kontrak

Ilustrasi Suasana Pekerjaan yang dilakukan Sejumlah Buruh Industri 
Pertanyaan
Selamat pagi DPP-SPAI. Saya mau tanya boleh tidak PT itu sistemnya tidak kontrak tetapi borongan? Gaji tergantung target, kalau tidak dapat target ya gajinya dikit kalau PT down (tutup) langsung dikeluarkan. Kalau tidak masuk kerja tidak digaji meski dalam keadaan sakit. Tolong pencerahannya.

Jawaban
Borongan Bukan Merupakan Status Hubungan Kerja
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Perlu kami jelaskan bahwa borongan bukan merupakan status hubungan kerja.
Bentuk hubungan kerja  dapat saja karyawan dengan status tetap atau permanen dibayarkan upahnya berdasarkan borongan.
Hanya saja upah yang diterima karyawan tersebut tidak boleh dibawah ketentuan UMK yang berlaku.
Upah karyawan boleh tidak dibayarkan ketika karyawan tersebut tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah.
Sehingga pengusaha tetap membayarkan upah karyawan yang mau bekerja tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena halangan pengusaha seperti bahan tidak ada.
Demikian penjelasan kami dan untuk penjelasan lebih lanjut silahkan berkonsultasi dengan mediator hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja setempat.

Oleh : Ketua Umum DPP-SPAI
           Jamali Burma
Share:

Peraturan Harian Kerja Lepas atau Karyawan Lepas

Peraturan Kerja Harian Lepas Atau Karyawan Lepas ~ Dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan :
  • “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.
  • “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
  • “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
  • “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
PERATURAN KERJA HARIAN  ATAU KARYAWAN LEPAS
Karyawan Lepas
Tenaga Kerja adalah penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Batas usia kerja di Indonesia  ialah minimum 10 Tahun, tanpa batas usia maksimum.

Buruh adalah mereka yang berkerja pada usaha perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Buruh ada 2 yaitu Tenaga Kerja Harian ( Harian Tetap dan Harian Lepas) dan Tenaga Kerja  Borongan, yaitu :
1. Tenaga Kerja Tetap
Tenaga kerja tetap (permanent employee) yaitu pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha untuk jangka waktu tidak tertentu (permanent). Tenaga kerja tetap, menurut PMK-252 ditambahkan menjadi sebagai berikut : Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.

2. Tenaga Kerja Lepas
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Yang di dapat atau Hak Teanaga kerja Lepas yaitu mendapat gaji sesuai kerjanya atau waktu kerja mereka, tanpa mendapat jaminan sosial. Karena Tenaga Kerja tersebut bersifat kontrak, setelah kontrak selesai, hubungan antara pekerja dan pemberi kerja pun juga selesai.

Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
  1. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
  2. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
  3. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
  4. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
3.  Tenaga Kerja Borongan
Borongan atau pocokan yaitu hubungan kerja berdasarkan kerja borongan lepas dengan pembagian hasil menurut upah atas satuan hasil kerja atau upah yang diterima berdasarkan barang yang dapat diselesaikannya.

Ketentuan untuk karyawan harian atau karyawan lepas diatur dalam Kepmen 100 tahun 2004 tentang "etentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu", sebagai berikut:
 
Pasal 10 ayat;
  1. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
  2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan         pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
  3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/kontrak kerja).
Pasal 11 
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat; (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya (dengan kata lain tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu).

Pasal 12
  1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
  2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat:
a.   Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b.   Nama/alamat pekerja/buruh.
c.    Jenis pekerjaan yang dilakukan.
d.   Besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.

Ketentuan mengenai PKWT diatur di dalam UUK dari Pasal 56 s.d Pasal 59, yang mana di bagian akhir dari Pasal 59 yaitu pada ayat (8) disebutkan bahwa: “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”. Ketentuan inilah yang kemudian mendasari terbitnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“KEPMEN No. 100 Tahun 2004”).
KEPMEN No. 100 Tahun 2004 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari UUK mengenai PKWT, yang di dalamnya mengatur juga mengenai Perjanjian Kerja Harian Lepas. Dengan demikian, Perjanjian Kerja Harian Lepas menurut KEPMEN ini merupakan bagian dari PKWT (lihat Pasal 10 s.d. Pasal 12 KEPMEN No. 100 Tahun 2004). Namun demikian, Perjanjian Kerja Harian Lepas ini mengecualikan beberapa ketentuan umum PKWT, yang mana dalam Perjanjian Kerja Harian Lepas dimuat beberapa syarat antara lain:
  1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah   dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran;
  2. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua  puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan;
  3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Demikian semoga bermanfaat.
Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI 
                         Jamali Burma
Share:

SANKSI/HUKUMAN BAGI YANG MELANGGAR HUKUM KETENAGAKERJAAN

Sanksi/Hukuman Bagi Yang Melanggar Hukum Ketenagakerjaan



Apa sanksi/hukuman bagi yang melanggar Hukum Ketenagakerjaan? Pertanyaan seperti inilah yang sering muncul. Sama seperti pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya, siapapun tidak ada yang bisa lepas dari sanksi/hukuman. Dalam Hukum Ketenagakerjaan ada banyak pasal yang mencantumkan sanksi/hukuman yang dapat dikenakan kepada siapapun yang melakukan pelanggaran. Dan hal tersebut tergantung dari jenis-jenis pelanggaran Hukum Ketenagakerjaan.
Ada tiga jenis sanksi yang dapat dijatuhkan bila terjadi pelanggaran terhadap hak dalam hubungan industrial yaitu :
  1. Sanksi Administratif
  2. Sanksi Perdata
  3. Sanski Pidana
Berikut penjelasan tentang sanksi-sanksi tersebut yang ada hubungannya dengan Hukum Ketenagakerjaan.

SANKSI ADMINISTRATIF
Sanksi administratif dapat dijatuhkan apabila pengusaha melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut :
  1. Melakukan diskriminasi kesempatan kerja kepada pekerja.
  2. Penyelenggaraan pelatihan kerja yang tidak memenuhi syarat.
  3. Melakukan pemagangan pekerja di luar negeri tanpa ijin dari instansi tenaga kerja.
  4. Perusahaan penempatan tenaga kerja yang memungut biaya penempatan kepada pekerja.
  5. Perusahaan yang tidak membentuk lembaga kerja bipartit padahal sudah mempekerjakan lebih dari 50 orang pekerja.
  6. Pengusaha tidak mencetak atau memperbanyak naskah Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
  7. Pengusaha yang tidak memberikan bantuan paling lama enam bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya. Kewajiban pengusaha tersebut diatur dengan persentase berikut: 
    - 25% dari upah untuk satu orang tanggungan.
    - 35% dari upah untuk dua orang tanggungan.
    - 45% dari upah untuk tiga orang tanggungan.
    - 50% dari upah untuk empat orang tanggungan.
Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa:
  1. Teguran.
  2. Peringatan Tertulis.
  3. Pembatasan Kegiatan Usaha.
  4. Pembekuan Usaha.
  5. Pembatalan Pendaftaran.
  6. Penghentian sementara sebagian atau keseluruhan alat produksi.
  7. Pencabutan ijin usaha.
SANKSI PERDATA
Sanksi perdata dalam perselisihan hubungan industrial dapat dijatuhkan kepada pengusaha dan pekerja. Bentuk sanksi dapat berupa :
  1. Batalnya perjanjian kerja bila perjanjian kerja bukan karena kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak.
  2. Batalnya perjanjian kerja apabila pekerjaan yang diperjanjikan tersebut bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
  3. Batalnya PHK bila sebelumnya tidak ada penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial untuk jenis PHK yang mempersyaratkan adanya penetapan dari Pengadilan Hukum Industrial.
  4. Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima borongan pekerjaan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila pekerjaan yang diborongkan tidak memenuhi syarat (Pasal 65 Ayat 8-9 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
  5. Status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila PPJP itu digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan tugas pokok/produksi (Pasal 66 Ayat 3-4 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
  6. Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang melakukan mogok dianggap mangkir dan bila sudah dipanggil secara patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang. Maka dianggap mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
  7. Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum atau yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia sehingga jatuh korban, maka dianggap sebagai melakukan kesalahan berat. Pekerja tersebut tidak berhak mendapat uang pesangon.

SANKSI PIDANA
Sanksi pidana dalam hubungan industrial dapat dijatuhkan kepada pekerja atau pengusaha apabila melakukan pelanggaran (kejahatan). Sebagian dari bentuk-bentuk sanksi pidananya antara lain:
  1. Dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 500.000.000,- bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja yang mengalami PHK karena usia pensiun pada program pensiun dan tidak memberikan pesangon sebesar dua kali ketentuan, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal 184 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
  2. Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- dan paling tinggi Rp. 50.000.000,- bila memungut biaya penempatan tenaga kerja oleh perusahaan penempatan tenaga kerja swasta (Pasal 38 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
  3. Sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah minimum (Pasal 90 Ayat 1 dan Pasal 185 Ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
  4. Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang tidak membayar kepada pekerja yang mengalami PHK yang setelah enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya, karena dalam proses perkara pidana, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal 185 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
  5. Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang :
    a. Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena sakit.
    b. Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haid.
    c. Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja karena pekerja :
         - Menikah
         - Menikahkan Anak
         - Mengkitankan/Membaptiskan Anak.
         - Istri/Anak/Menantu/Orangtua/Mertua/anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
    d. Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan kewajiban terhadap negara atau agama.
    e. Tidak mempekerjakan pekerja pekerjaan yang dijanjikan.
    f. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang melaksanakan hak istirahat.
    g. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (Pasal 186 Undang-Undang Ketenagakerjaan)
     
    Oleh : Ketua Umum DPP-SPAI
               Jamali Burma
Share:

KETENTUAN PIDANA JIKA PENGUSAHA MELANGGAR KETENTUAN JAM ISTIRAHAT PEKERJA


Sanksi Pidana Jika Pengusaha Melanggar Ketentuan Jam Istirahat Pekerja
Jam kerja di sebuah perusahaan adalah masuk pukul 07.00 - 11.30 dan istirahat 11.30-12.30 dan masuk kembali 12.30-16.00. Apakah itu melanggar peraturan atau tidak? Dan kami juga mempunyai rekomendasi penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat.
 
Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI
                       Jamali Burma
Jawaban :
Dalam uraian Anda, Anda tidak menjelaskan lebih rinci mengenai bidang usaha perusahaan tersebut serta berapa hari dalam seminggu hari kerja di perusahaan tersebut. Atas hal tersebut kami berasumsi bahwa bidang usaha perusahaan tersebut bukanlah bidang usaha yang dikecualikan dari ketentuan waktu kerja yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan berserta penjelasan Pasal 77 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Selain itu, kami berasumsi bahwa hari kerja di perusahaan tersebut adalah 5 hari kerja dalam seminggu.
 
Mengenai jam kerja, kita dapat merujuk kepada UU Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan uraian Anda, dapat kita lihat bahwa waktu kerja pada perusahaan tersebut adalah 8 (delapan) jam sehari dengan waktu istirahat 1 (satu) jam.
 
Berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, ada 2 ketentuan mengenai waktu kerja yaitu:
a.    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.    8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
 
Melihat pada ketentuan di atas, maka waktu kerja yang diberlakukan oleh perusahaan tersebut tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Akan tetapi, pengaturan waktu kerja dalam perusahaan tersebut terindikasi melanggar ketentuan mengenai waktu istirahat. Berdasarkan Pasal 79 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan, istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Dalam hal ini, perusahaan memberikan waktu istirahat setelah 4,5 jam bekerja (pukul 07.00 - 11.30). Atas dasar hal tersebut, perusahaan dapat terkena sanksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
 
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
 
Mengenai rekomendasi penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat, mungkin yang Anda maksud adalah izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat sebagaimana yang diatur dalam Kepmenaker No. KEP. 608/MEN/1989 Tahun 1989 tentang Pemberian Izin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Bagi Perusahaan-Perusahaan yang Mempekerjakan Pekerja 9 Jam Sehari dan 54 Jam Seminggu (“Kepmenaker No. 608/1989”). Akan tetapi, sebagaimana pernah dijelaskan Umar Kasim di dalam artikel Waktu Kerja Lembur Lebih dari 54 Jam Seminggu, sejak diundangkannya UU Ketenagakerjaan, tidak dikenal lagi lembaga penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat sebagaimana pernah diatur dalam Kepmenaker No. 608/1989. Sebelumnya, ketentuan izin penyimpangan waktu kerja (IPWK) dimungkinkan diberikan setelah dilakukan penelitian secara saksama oleh pejabat yang berwenang (lihat juga Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI No. SE-01/Men/1989 tentang Penyederhanaan Pemberian Ijin Penyimpangan Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat) yang dilakukan secara selektif dan bersifat temporer. Selain itu, pejabat yang berwenang juga mengarahkan perusahaan untuk menambah jumah tenaga kerja atau menggunakan sistem kerja shift (Pasal 5 Instruksi Menteri Tenaga Kerja RI No. INS-03/M/BW/1991 tentang Pelaksanaan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Lebih dari 9 Jam Sehari dan 54 Jam Seminggu).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI
                      Jamali Burma
Share:

Rabu, 16 Agustus 2017

UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK HUKUM DALAM PENGELOLAAN HGU DI INDONESIA

abstrak
Penelitian ini berupaya mengungkap penyelesaian konflik hukum dalam pengelolaan HGU di Indonesia; dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris (socio-legal studies), penelitian ini menginformasikan perlu political will untuk penguatan ekonomi masyarakat dengan program pemberdayaan masyarakat secara khusus terhadap perusahaan pemegang HGU dan program strategis BPN misalnya reforma agraria dan perlunya pengaturan tentang hak dan kewajiban pemegang HGU yang lebih kuat dengan merevisi PP 40 Tahun 1996
Kata Kunci: Konflik Hukum, Pengelolaan HGU

Latar Belakang
Hak Guna Usaha (HGU) merupa kan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu dan didahuluipenetapan pemerintah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku[2]. Persoalantanah ini merupakan problem klasik di negara kita dimana sumber daya yang secara kuantitas terbatas akan tetapi akibat pengelolaan yang tidak tepat dapat berimplikasi sangat kompleks dan multidimensi. Tanah, satu-satunya harta paling berharga bagi kaum tani. Keberadaan dan kepemili kan tanah menjadi faktor penentu keberlan jutan hidup petani. Kondisi ini ternyata masih belum bisa terlaksa na dimana ketimpangan kepemilikan dan penguasaan yang menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan aspek hukum akibat lemahnya regulasi dan peraturan yang kurang revelan dan  makin banyaknya gesekan yang terjadi. Pemerintah yang seharusnya menjamin ketersediaan dan kemakmuran hidup rakyatnya terkesan kurang melakukan upaya untuk memfa silitasi rakyat guna mendapat hak atas tanah.
Sejarah pertanahan di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan dimana pada saat itu semua tanah dikuasai oleh raja. Kebijakan tersebut terus berlanjut pada saat Inggris menjajah Indonesia tahun 1811-1816. Pemerintah Ingris membuaat peraturan yang menyatakan bahwa semua tanah sepenuhnya adalah milik raja atau pemerintah sehingga petani hanya berhak mengolahnya dan wajib menyerahkan 2/5 dari hasil garapannya kepada pemerintah sebagai balas jasa, hal ini lebih lanjut dikenal dengan teori Rafles[3]. Nasib petani bertambah buruk pada masa penjajahan hindia belanda yang selain menerapkan sistem tanam paksa juga mengharuskan petani bekerja di perkebunan Belanda. Pada masa ini pula, Teori rafles yang sudah sangat memberatkan petani diganti Culture Stelsel yang mewajib kan petani menanami 1/5 luas tanahnya dengan jenis tanaman yang ditentukan Belanda dan hasilnya seluruhnya diserahkan pada Belanda. Kebijakan ini semakin membelenggu kebebasan petani untuk menjalankan haknya. Nasib buruk tidak berhenti sampai disana. Pada masa itu keluar kebijakan semua tanah yang tidak berpemilik, tidak ada bukti kepemilikan sah atau terlantar adalah milik negara dan dikuasai belanda. Kebijakan ini dalam Agrarische besluit menerapkan domein in verklaring. Para pemilik tanah yang notabene adalah petani tidak mampu tidak dapat mempertahankan dan mendapatkan pengakuan hak miliknya, sehingga kehilangan hak atas tanahnya.
Pemerintah Belanda rupanya belum puas hanya menguasai tanah rakyat, belanda juga menerapkan kebijakan baru yang diperkuat dalam UU Agraria 1870, dengan UU ini Belanda memberi banyak peluang pada investor swasta belanda untuk menanamkan modal di perkebuan Indonesia.Fakta sejarah menyimpulkan perkebunan HGU merupakan sarang konflik pertanahan apabila tidak dikelola secara optimal.
Sumber daya alam khususnya tanah secara terperinci diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai sepenuhnya oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna pasal tersebut apabila kita telaah secara seksama adalah kewajiban Negara untuk mensejahterakan masyarakat secara utuh tanpa terkecuali. Salah satu sumber kemakmuran bagi masyarakat adalah tanah[4]. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 memperinci lagi dimana dalam Pasal 6 ditentukan bahwa tanah memiliki fungsi sosial berarti dalam pengelolaannya harus mampu memberi kan kontribusi semaksimal kepada segenap rakyat Indonesia[5]
Amanat Negara dalam pengelola an tanah untuk kesejahteraan masyara kat ini yang menjadi dasar wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk memperjuangkan cita-cita luhur tersebut. Secara yuridis ada 5 fungsi yang wajib dijalankan Badan Pertanahan Nasional antara lain:
1.      Pengaturan (regelendaad);
2.      Pengelolaan (beheersdaad);
3.      Kebijakan (beleid);
4.      Pengurusan (bestuursdaad);
5.      Pengawasan (toezichthoudens- daad)[6].
Penjabaran kelima fungsi tersebut salah satunya adalah kebijakan pemberian Hak Guna Usaha yang secara filosofis diatur dalam Pasal 16 UUPA Tahun 1960  dan PP No 40 Tahun 1996. Secara yuridis negara memberi kesempatan kepada Warga Negara Indonesia  dan  Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia untuk mempergunakan tanah semaksimal mungkin untuk kegiatan ekonomi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Hak guna usaha yang diberikan kepada badan hukum Indonesia dan Warga Negara Indonesia seyogyanya tidak boleh bertentangan dengan pasal 1-15 UUPA sebagai landasan filosofis. Implementasi HGU di Indonesia ternyata tidak seperti harapan yang di inginkan sebab banyak tanah negara yang telah dilekati Hak Guna Usaha justru menimbulkan persoalan baru karena ketidaksesuaian pelaksanaan antara aturan dan fakta dilapangan. diantaranya adalah:
1.    Pemegang HGU cenderung tidak memperhatikan ekosistem setempat sehingga merugikan masyarakat sekitar akibat eksploitasi berlebihan.
2.    Pemegang HGU tidak mampu mengoptimalisasi tanah sehingga masyarakat sekitar melakukan reclaiming
3.    Pemegang HGU kurang memperhati kan keberadaan masyarakat sekitar.
4.    Adanya Tumpang tindih antara Tanah Area HGU dan Tanah yang dikuasai oleh masyarakat.
Kondisi ini jelas merugikan masyarakat sekitar dan pemegang HGU itu sendiri sebab konflik dan pertentangan membuat proses produksi di area HGU menjadi terhambat karena adanya reaksi masyarakat. Mencegah kondisi ini Badan Pertanahan Nasional sebagai institusi yang berwenang memberi Hak Guna Usaha berupaya melakukan tindakan preventif dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
          Kenyataan dalam praktik masih ditemui persoalan berkaitan dengan Hak Guna Usaha dimana pemberian HGU ini masih menguntungkan segelintir orang yakni perusahan dan pemilik modal yang memiliki Hak Guna Usaha. Fakta ini makin terlihat banyak sekali resistensi masyarakat pada perusahaan pemegang  Hak Guna Usaha, kondisi ini tidak sesuai dengan  4 pilar utama yang merupakan fungsi kontrol BPN, yaitu:
1.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatdan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat.
2.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan tata kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dengan P4T.
3.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyaraka tan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan membuka akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang dan pada sumber ekonomi masyarakat yaitu tanah.
4.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Republik Indonesia dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Berkenaan dengan itu Badan Pertanahan Nasional perlu melakukan kontrol dalam pemberian Hak Guna Usaha dan merangkul perusahaan pemegang Hak Guna usaha untuk secara aktif terlibat dalam pemberdaya an sesuai amanat undang-undang:
1.      UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, di dalam Pasal 12 Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila menurut penilaian Menteri hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana ayat dipersyaratkan dan ditelantar kan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak diberikan hak guna usaha yang bersangkutan.           
2.      UU Nomor 40 tahun 2007 tentang  Perseroan Terbatas mengenai Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Pasal 74
¾  Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
¾  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimak sud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannyadilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
¾  Perseroan yang tidak melaksana kan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
¾  Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
3.      PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang  Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 4 ayat (3) dan (4)
¾  Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksa naan ketentuan Hak Guna Usaha baru dapat dilaksanakan setelah selesai pelepasan hak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
¾  Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberada annya berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru.
Hak Guna Usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu dan didahului penetapan pemerintah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku[7]. Persoalan tanah ini merupakan problem klasik di negara kita dimana sumberdaya yang secara kuantitas terbatas akan tetapi akibat pengelolaan yang tidak tepat dapat berimplikasi sangat kompleks dan multidimensi. Tanah, satu-satunya harta yang paling berharga bagi kaum tani. Keberadaan dan kepemilikan tanah menjadi faktor penentu keberlanjutan hidup petani. Kondisi ini ternyata masih belum bisa terlaksana dimana ketimpangan kepemilikan dan penguasaan yang menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan beberapa aspek hukum akibat lemahnya regulasi dan peraturan yang kurang revelan dan  semakin banyaknya gesekan yang terjadi. Pemerintah yang seharusnya menjamin ketersediaan dan kakmuran hidup rakyatnya terkesan kurang melakukan upaya untuk memfasilitasi rakyat guna mendapat hak atas tanah.
Berkenaan dengan itu apabila dalam pelaksanaan dilapangan ditemu kan konflik hukum dan konflik horizontal maka yang patut ditelusuri adalah proses pengeluaran SK HGU (sertipikat) hak guna usaha dan pertimbangan yang harus dilakukan perusahaan atau masyarakat dalam pengelolaan HGU agar sesuai dengan ketetapan Peraturan pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Kondisi HGU merupakan cermin dari kondisi agraria di Indonesia dimana sebagian besar HGU kita dikuasai secara monopolistik[8]. Catatan KPA konflik di sektor Perkebunan HGU menduduki urutan ketiga dalam tingkat paling banyak konflik setelah Kehutanan dan pertambangan. Konflik perkebunan terjadi karena terjadi pendelegasian hak masyarakat dalam penguasaan perusahaan pemilik HGU serta tertutup nya akses masyarakat terhadap ekonomi dan kepemilikan tanah yang tumpang tindih dengan Perusahaan HGU. Akibat dari penguasaan secara monopolistic menyebabkan:
1.    Rasa tidak adil terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar HGU.
2.    Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkebunan.
3.    Tidak terkontrolnya kesesuaian penggunaan HGU.
Merujuk uraian di atas, dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris (socio-legal studies), yang menjadi permasalahan adalah bagaimana upaya penyelesaian konflik hukum dalam pengelolaan HGU.
Analisis Hukum
Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Pengaturan lembaga pemerintah non departemen tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang, yang diatur adalah tugas dan fungsi. Pertanyaannya produk hukum yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional tergolong peraturan perundang­-undangan atau peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), hal inilah yang perlu dianalisis terlebih dahulu. Berdasarkan ketentuan, produk hukum yang dilahirkan oleh lembaga ini adalah produk regulasi untuk menjalankan kekuasaan regulasi. Kekuasaan regulasi adalah kekuasaan mengatur yang diberikan kepada pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan legislasi atau untuk menjalankan segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam kekuasaan legislasi atau delegated legislation. Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari; (a) pendelegasian Undang-Undang (delegated legislation): (b) peraturan kebijaksanaan. Peranan yang begitu besar mensyaratkan setiap tindakan eksekutif atau pemerintahan harus lahir atas wewenang yang sah, baik wewenang yang diperoleh melalui atribusi, mandat dan delegasi. Dalam praktik, Peraturan Pemerintah adalah aturan hukum untuk melaksanakan ketentuan Undang­-Undang. Dalam delegasi Undang-Undang perlu diperha tikan prinsip delegatus non potest delegate, artinya sebuah aturan hukum yang didelegasikan oleh aturan hukum yang lebih tinggi adalah terlarang untuk didelegasikan ke aturan hukum lain tanpa persetujuan yang mendelegasikannya.[9] Berdasarkan perbandingan kajian yang dilakukan Universitas Brawijaya, penelitian yang dilakukan oleh Suhariningsih, Istislam, Imam Koeswahyono dan Dianawati[10] menyimpulkan:
1.    perlunya dukungan hukum normatif untuk pengelolaan kebijakan HGU dimana peraturan yang tersebar menyulitkan untuk dimengerti oleh pejabat sektoral terkait dan masih lemah.
2.    Implementasi kebijakan HGU yang rawan akan konflik dengan masyarakat apabila dirunut secara historis ternyata ada pengambilalih an tanah masyarakat secara sepihak oleh perusahaan.
3.    Badan Pertanahan Nasional berke pentingan untuk mengawasi, memberikan kepastian terkait hak dan kewajiban pada pemilik HGU.
4.    Realisasi tanggung jawab sosial pemegang HGU wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau kesepakatan yang berlaku.
Berdasarkan uraian dan analisis di atas terlihat bahwa beleidsregel tentang HGU masih lemah. UUPA No 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah terlihat belum mengatur secara tegas mengenai sanksi, evaluasi kebijakan pemberian, monitoring dan kontrol di lapangan. Kondisi ini membuat pemaknaan yang dilakukan perusahaan pemegang HGU adalah diperkenankan mengeksplorasi SDA yang cenderung melampaui batas sehingga mengakibatkan kesenjangan ekonomi dan berdampak munculnya konflik serta perlawanan masyarakat. Disisi lain wewenang yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas, perkebunan yang berkaitan dengan HGU belum signifikan dalam mencegah penelantaran tanah dan kesenjangan ekonomi. Kondisi ini dilematis, disatu sisi kontrol dan evaluasi kebijakan pemberian HGU sangat lemah tetapi dilain pihak BPN dituntut adil dalam memberikan HGU[11] Persoalan timbul pada saat masa HGU habis. Masukan dari NGO/ LSM terkait track record pengelolaan HGU oleh perusahaan dapat dijadikan referensi BPN untuk memperpanjang pemberian HGU atau tidak.
Lemahnya beleidregel ini terlihat dalam kasus mesuji lampung dan konflik HGU lainnya di Indonesia, hal tersebut lebih disebabkan  tidak akurat nya keterangan mengenai tanahnya yang  meliputi data yuridis dan data fisik[12] :
·      Dasar penguasaan, izin lokasi (apabila pemohon badan hukum), SK pelepasan kawasan hutan dari Menhut (apabila tanah berasal dari kawasan hutan), akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.
·      Peta Bidang Tanah/surat ukur yang memuat letak, batas-batas, luas, tanggal, nomor dan NIB.
·      Peruntukkan(pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan).
·      Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon.
Kesenjangan ekonomi antara pemegang HGU dan masyarakat juga memicu konflik dan berdampak pada kondisi sosial masyarakat, ditambah  lemahnya sanksi dalam PP 40 tahun 1996 membuat konflik di area HGU semakin bergolak.
Menindak lanjuti penelitian di atas diperlukan langkah hukum normatif yang tegas. Apabila SK atau sertipikat HGU dikeluarkan ada unsur cacad yuridis maupun administrasi dan ada indikasi merugikan pemegang HGU, konsekuensinya keputusan tata usaha negara tersebut dapat digugat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Yudhi setiawan menjelaskan bahwa  ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang tahun 1986 dalam hal ini ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a dapat digunakan secara terbatas, yaitu dalam hal terdapat rumusan undang-undang tersamar (norma tersamar). Terhadap rumusan undang-undang tersamar ”kewenangan bebas” pemerintahan berupa kewenangan interpretasi. Terhadap interpretasi itulah dapat diterapkan AUPB. Dengan demikian dalam pertimbangan AUPB diterapkan melalui interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan namun dalam putusan dinyatakan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yaitu adanya unsur ”penyalah gunaan wewenang” dan ”tindakan sewenang-wenang” hanya dapat diukur dari asas kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play). Sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c terbuka kemungkinan untuk menampung AUPB. Dalam pertimba- ngan asas-asas itu digunakan untuk menilai namun dalam diktum putusan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat dinyatakan batal karena mengandung unsur tindakan sewenang -wenang. Pengujian keputusan tata usaha negara dalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dilakukan pengujian secara materiil tidak hanya terbatas karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, tetapi juga karena bertentangan dengan hukum tidak tertulis yaitu AUPB. Ini berarti pengujian keputusan yang merupakan peraturan kebijaksanaan dapat dilakukan pengujian secara tidak langsung oleh hakim peradilan tata usaha negara.[13] Dari uraian di atas diketahui bahwa pengujian secara materiil peraturan kebijaksanaan oleh hakim peradilan tata usaha negara menurut ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 14 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dilakukan dengan menerapkan AUPB dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan.[14]
Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan membuat peraturan kebijak sanaan. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan diskresi dan ketiadaan wewenang administrasi (negara) membuat peraturan perundang-undangan. Baik karena secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek bersangkutan tidak berwenang mengatur. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarah kan pada doelmategheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Jika terjadi sengketa atas dasar peraturan kebijaksanaan, dan hakim peradilan tata usaha negara menganggap telah terjadi pelanggaran oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (BPN) misalnya, sehingga ”bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, batu ujinya adalah pelanggaran asas kepercayaan (het vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play)  dari AUPB.  Dasar pengujian (toetsings gronden) yang diambil oleh hakim peradilan tata usaha negara adalah ada tidaknya pelanggaran atas asas kepercayaan  (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play)  dari AUPB tersebut,  dalam pertimbangan putusan harus disebutkan asas mana yang dilanggar.[15]
Penjelasan di atas sesuai dengan JUKLAK Mahkamah Agung Nomor 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 bahwa: Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintah yang baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilanggar dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2).
Indroharto[16] menjelaskan bahwa hukum publik merupakan pengaturan hal-hal atau keadaan-keadaan yang berada dalam suasana budaya politik yang mendorong agar kegiatan pemerintahan itu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan. Peraturan-peraturan demikian itu dapat berupa peraturan mengenai organisasi pemerin tah, dapat pula peraturan yang memberikan wewenang-wewenang pemerintahan kepada para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang bersangkutan terhadap warga masyarakat. Atau sebaliknya ada pula peraturan-peraturan yang memberikan hak-hak untuk menuntut sesuatu dari para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Namun ada satu macam kesamaan umum yang perlu dicatat dari semua macam peraturan hukum publik itu, yaitu: tiap peraturan hukum publik itu selalu mengenai hubungan hukum yang timbul atau dapat timbul sebagai akibat dari turut campurnya atau kepedulian pemerintah dalam suatu bidang kehidupan dalam masyarakat.
Sengketa atau kasus di perkebunan pada umumnya adalah sengketa antara masyarakat di satu sisi dan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sisi lain, dalam bentuk penjarahan hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat dari desakan krisis ekonomi, sementara tanah-tanah HGU tersebut dalam keadaan tidak ditanami atau memang disediakan untuk replantasi/peremajaan tanaman. Penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, juga yang terjadi dalam bentuk reclaiming action yaitu tuntutan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi yang layak pada puluhan tahun yang lalu atau ada dugaan bahwa luas hasil ukur yang diterbitkan HGU berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Pemerintah (BPN)[17] berusaha mencari solusi penyelesaian yang terbaik berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku dan rasa keadilan dengan menghormati hak dan kewajiban para pihak. Terhadap tanah-tanah perkebunan (HGU) yang diduduki rakyat karena tidak diusahakannya baik sebagai akibat kelalaian pemilik perkebunan, maka tanah yang diduduki rakyat dapat dikeluarkan dari areal HGU yang kemudian ditata kembali penggunaan, penguasaan dan kepemilikan tanahnya sesuai tata ruang yang ada.
Peran BPN dalam penyelesaian Kasus konflik HGU
Pola sengketa tanah umumnya tidak terjadi di antara sesama kelas petani, tetapi di antara para petani dan perusahaan yang dimiliki investor dan pemerintah. Kebanyakan kasus konflik HGU pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi di antara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan mediator pemerintah. Oleh karena itu, peranan pemerintah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi konflik HGU di Indonesia. Agar pemberian HGU tidak berpotensi menimbulkan konflik maka diperlukan administrasi pertanahan yang dapat menunjang pelaksanaan pendaftaran tanah maka dibutuhkan persyaratan lain yaitu didukung dengan sarana dan prasarana pendukung, baik hukum yang berkeadilan, institusi hukum, profesionalisme pejabat, namun juga kerangka jaminan keamanan bagi pemegang hak atas tanah yang dikuasai. Persyaratan itu diperlukan seperti penjelasan Ian P. Williamson:
a Land administration infrastructure requires a legal framework which enforces the rules of law. Such a framework require not only good laws butalso legal institutions, professionals and government officials who versed in the law, and justice system which enforces the law. Such a legal framework is essential to ensure that land holders are secure in their occupation, they are not disposed without due process and compensation, and the land market can function with confidence and securily.[18]
Jaminan keamanan bagi peme gang hak dan kompensasi adalah hal penting yang harus masuk dalam lembaga pendaftaran tanah dalam kerangka sistem pertanahan, mengingat tanah dan manusia mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, untuk itulah peranan penting lembaga pendaftaran tanah dalam kerangka sistem administrasi bidang pertanahan harus lengkap dan komprehensif guna dapat mendukung pembangunan. Penegasan tersebut berdampak pada penegakan hukum sehingga kedepan perlu revisi PP No 40 Tahun 1996 dimana ada sanksi tegas apabila ada upaya perusahaan pemegang hak guna usaha tidak menjalankan keputusan sebagaimana yang telah ditetapkan. Mekanisme pengawasan perlu diting katkan serta perlu pelibatan masyarakat dalam penetapan batas tanah-tanah yang berbatasan langsung dengan tanah masyarakat guna melengkapi asas kontradiktur delimi tasi dalam pendaftaran tanah perkebunan HGU.
Kesimpulan
1.    Konflik HGU dilatarbelakangi fakta sejarah pasca penjajahan Belanda dan Jepang bahwa HGU pada masa yang merupakan wujud eksploitasi kekayaan bangsa Indonesia untuk kepentingan penjajah, dan pasca penjajahan perkebunan dinasionali sasi pemerintah Indonesia ternyata masih mengutamakan kepentingan perusahaan perkebunan milik negara atau swasta dibandingkan dengan kepentingan rakyat yang kemudian memicu timbulnya konflik.
2.    Peraturan yang ada masih kurang tegas mengatur, mengevaluasi, dan mengkontrol dampak kebijakan pemberian HGU yang berakibat terjadinya kesenjangan ekonomi.
Saran
1.    Perlunya political will untuk penguatan ekonomi masyarakat dengan program pemberdayaan masyarakat secara khusus terhadap perusahaan pemegang HGU dan program strategis BPN misalnya reforma agraria. Untuk meredam konflik masyarakat dan pemegang HGU selama belum diaturnya peraturan yang lebih tegas BPN harus memperhatikan advokasi atau upaya mediasi yang dilakukan LSM atau NGOs sebagai dasar pertimba- ngan kebijakan pemberian HGU kepada perusahaan. Permohonan perpanjangan HGU dilakukan dengan kontrol ketat atas status bidang-bidang tanah atau batasan tanah, luasan tanah, dan pola-pola kemitraan yang akan dibangun agar mampu memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.
2.    Perlunya pengaturan tentang hak dan kewajiban pemegang HGU yang lebih kuat dengan merevisi PP 40 Tahun 1996
----- ooo 0 ooo -----
Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI
                       Jamali Burma
Email : serikatpekerjaacehindonesia@gmail.com
Share: