abstrak
Penelitian ini berupaya mengungkap
penyelesaian konflik hukum dalam pengelolaan HGU di Indonesia; dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris (socio-legal
studies), penelitian ini menginformasikan perlu political will untuk penguatan ekonomi masyarakat dengan program
pemberdayaan masyarakat secara khusus terhadap perusahaan pemegang HGU dan
program strategis BPN misalnya reforma agraria dan
perlunya pengaturan tentang hak dan kewajiban pemegang HGU yang lebih kuat dengan merevisi PP 40 Tahun 1996
Kata Kunci: Konflik Hukum, Pengelolaan
HGU
Latar
Belakang
Hak Guna Usaha (HGU) merupa kan hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu tertentu dan didahuluipenetapan pemerintah dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Persoalantanah ini merupakan problem
klasik di negara
kita dimana sumber daya
yang secara kuantitas terbatas akan tetapi akibat pengelolaan yang tidak tepat
dapat berimplikasi sangat kompleks dan multidimensi. Tanah, satu-satunya harta paling berharga bagi kaum
tani. Keberadaan
dan kepemili kan tanah menjadi faktor penentu keberlan jutan hidup petani. Kondisi ini
ternyata masih belum bisa terlaksa na dimana ketimpangan kepemilikan dan penguasaan yang
menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan aspek hukum
akibat lemahnya regulasi dan peraturan yang kurang revelan dan makin banyaknya gesekan yang terjadi. Pemerintah yang seharusnya menjamin ketersediaan dan kemakmuran
hidup rakyatnya terkesan kurang melakukan upaya untuk memfa silitasi
rakyat guna mendapat hak atas tanah.
Sejarah pertanahan di Indonesia
dimulai sejak zaman kerajaan dimana pada saat itu semua tanah dikuasai oleh
raja. Kebijakan tersebut terus berlanjut pada saat Inggris menjajah Indonesia
tahun 1811-1816. Pemerintah Ingris membuaat peraturan yang menyatakan bahwa
semua tanah sepenuhnya adalah milik raja atau pemerintah sehingga petani hanya
berhak mengolahnya dan wajib menyerahkan 2/5 dari hasil garapannya kepada
pemerintah sebagai balas jasa, hal ini lebih lanjut dikenal dengan teori Rafles.
Nasib petani bertambah buruk pada masa penjajahan hindia belanda yang selain
menerapkan sistem tanam paksa juga mengharuskan petani bekerja di perkebunan
Belanda. Pada masa ini pula, Teori rafles yang sudah sangat memberatkan petani
diganti Culture Stelsel yang mewajib kan
petani menanami 1/5 luas tanahnya dengan jenis tanaman yang ditentukan Belanda
dan hasilnya seluruhnya diserahkan pada Belanda. Kebijakan ini semakin
membelenggu kebebasan petani untuk menjalankan haknya. Nasib buruk tidak
berhenti sampai disana. Pada masa itu keluar kebijakan semua tanah yang tidak
berpemilik, tidak ada bukti kepemilikan sah atau terlantar adalah milik negara dan dikuasai
belanda. Kebijakan ini dalam Agrarische
besluit menerapkan domein in
verklaring. Para pemilik tanah yang notabene adalah petani tidak mampu tidak dapat mempertahankan
dan mendapatkan pengakuan hak miliknya, sehingga kehilangan hak atas tanahnya.
Pemerintah Belanda
rupanya belum puas hanya menguasai tanah rakyat, belanda juga menerapkan
kebijakan baru yang diperkuat dalam UU Agraria 1870, dengan UU ini Belanda
memberi banyak peluang pada investor swasta belanda untuk
menanamkan modal di perkebuan Indonesia.Fakta sejarah menyimpulkan perkebunan HGU
merupakan sarang konflik pertanahan apabila tidak dikelola secara optimal.
Sumber daya alam khususnya tanah secara terperinci diatur
dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang menentukan bumi,
air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai sepenuhnya oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna pasal tersebut
apabila kita telaah secara seksama adalah kewajiban Negara untuk
mensejahterakan masyarakat secara utuh tanpa terkecuali. Salah satu sumber
kemakmuran bagi masyarakat adalah tanah.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 memperinci lagi dimana dalam Pasal 6 ditentukan bahwa tanah memiliki
fungsi sosial berarti dalam pengelolaannya
harus mampu memberi kan kontribusi semaksimal kepada segenap
rakyat Indonesia
Amanat Negara dalam pengelola an tanah untuk kesejahteraan masyara kat ini yang menjadi dasar wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk
memperjuangkan cita-cita luhur tersebut. Secara yuridis ada 5 fungsi yang wajib
dijalankan Badan Pertanahan Nasional antara lain:
1.
Pengaturan (regelendaad);
2.
Pengelolaan (beheersdaad);
3.
Kebijakan (beleid);
4.
Pengurusan (bestuursdaad);
5.
Pengawasan (toezichthoudens- daad).
Penjabaran kelima fungsi tersebut salah satunya
adalah kebijakan pemberian Hak Guna Usaha yang secara filosofis diatur dalam
Pasal 16 UUPA Tahun 1960 dan PP No 40
Tahun 1996. Secara yuridis negara
memberi kesempatan kepada Warga Negara Indonesia dan
Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia untuk mempergunakan tanah semaksimal mungkin untuk kegiatan
ekonomi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Hak guna usaha yang diberikan kepada badan hukum
Indonesia dan Warga Negara Indonesia seyogyanya tidak boleh bertentangan dengan
pasal 1-15 UUPA sebagai landasan filosofis. Implementasi HGU di Indonesia ternyata tidak seperti
harapan yang di inginkan sebab banyak tanah
negara yang telah dilekati Hak Guna Usaha
justru menimbulkan persoalan baru karena ketidaksesuaian pelaksanaan antara
aturan dan fakta dilapangan. diantaranya
adalah:
1.
Pemegang HGU cenderung tidak
memperhatikan ekosistem setempat sehingga merugikan masyarakat sekitar akibat
eksploitasi berlebihan.
2.
Pemegang HGU tidak mampu
mengoptimalisasi tanah sehingga masyarakat sekitar melakukan reclaiming
3.
Pemegang HGU kurang memperhati kan keberadaan masyarakat sekitar.
4.
Adanya Tumpang tindih antara Tanah Area
HGU dan Tanah yang dikuasai oleh masyarakat.
Kondisi ini jelas
merugikan masyarakat sekitar dan pemegang HGU itu sendiri sebab konflik dan
pertentangan membuat proses produksi di area HGU menjadi terhambat karena
adanya reaksi masyarakat. Mencegah kondisi ini Badan Pertanahan Nasional
sebagai institusi yang
berwenang memberi
Hak Guna Usaha berupaya melakukan tindakan preventif dengan
kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Kenyataan
dalam praktik
masih ditemui persoalan berkaitan dengan Hak Guna Usaha dimana pemberian HGU ini masih menguntungkan segelintir orang
yakni perusahan dan pemilik modal yang memiliki Hak Guna Usaha. Fakta ini makin
terlihat banyak sekali resistensi masyarakat pada perusahaan pemegang Hak Guna Usaha, kondisi ini tidak sesuai
dengan 4 pilar utama yang merupakan
fungsi kontrol BPN, yaitu:
1.
Pertanahan harus berkontribusi secara
nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatdan melahirkan sumber-sumber baru
kemakmuran rakyat.
2.
Pertanahan harus berkontribusi secara nyata terhadap
peningkatan tata kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dengan P4T.
3.
Pertanahan harus berkontribusi secara
nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem
kemasyaraka tan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan membuka akses seluas-luasnya pada
generasi yang akan datang dan pada sumber ekonomi masyarakat yaitu tanah.
4.
Pertanahan
harus berkontribusi secara nyata untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama
secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di
seluruh Republik Indonesia dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi
melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Berkenaan
dengan itu Badan Pertanahan Nasional perlu melakukan kontrol dalam pemberian
Hak Guna Usaha dan merangkul perusahaan pemegang Hak Guna usaha untuk secara
aktif terlibat dalam pemberdaya an
sesuai amanat undang-undang:
1.
UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, di dalam Pasal 12 Menteri dapat
mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus
hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila menurut
penilaian Menteri hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai
dengan rencana ayat dipersyaratkan dan ditelantar kan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut
sejak diberikan hak guna usaha yang bersangkutan.
2.
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas mengenai Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Pasal 74
¾ Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
¾ Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimak sud pada ayat (1) merupakan kewajiban
Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannyadilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
¾ Perseroan yang tidak melaksana kan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
¾ Ketentuan
lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.
3.
PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 4 ayat (3)
dan (4)
¾ Pemberian
Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku, pelaksa naan
ketentuan Hak Guna Usaha baru dapat dilaksanakan setelah selesai
pelepasan hak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
¾ Dalam
hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat
tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberada annya berdasarkan alas hak yang sah,
pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan
pada pemegang Hak Guna Usaha baru.
Hak Guna Usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara,
dalam jangka waktu tertentu dan didahului penetapan pemerintah dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Persoalan tanah ini merupakan problem klasik di negara kita dimana sumberdaya yang secara
kuantitas terbatas akan tetapi akibat pengelolaan yang tidak tepat dapat
berimplikasi sangat kompleks dan multidimensi. Tanah, satu-satunya harta yang paling berharga bagi kaum tani.
Keberadaan dan kepemilikan tanah menjadi faktor penentu keberlanjutan hidup
petani. Kondisi ini ternyata masih belum bisa terlaksana dimana ketimpangan
kepemilikan dan penguasaan yang menimbulkan permasalahan politik, sosial,
ekonomi, budaya dan beberapa aspek hukum akibat lemahnya regulasi dan peraturan
yang kurang revelan dan semakin
banyaknya gesekan yang terjadi. Pemerintah yang seharusnya menjamin
ketersediaan dan kakmuran hidup rakyatnya terkesan kurang melakukan upaya untuk
memfasilitasi rakyat guna mendapat hak atas tanah.
Berkenaan dengan
itu apabila dalam pelaksanaan dilapangan ditemu kan konflik hukum dan konflik
horizontal maka yang patut ditelusuri adalah proses pengeluaran SK HGU
(sertipikat) hak guna usaha dan pertimbangan yang harus dilakukan perusahaan
atau masyarakat dalam pengelolaan HGU agar sesuai dengan ketetapan Peraturan
pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Kondisi
HGU merupakan cermin dari kondisi agraria di Indonesia dimana sebagian besar HGU kita dikuasai
secara monopolistik.
Catatan KPA konflik di sektor Perkebunan HGU menduduki urutan ketiga dalam
tingkat paling banyak konflik setelah Kehutanan dan pertambangan. Konflik
perkebunan terjadi karena terjadi pendelegasian hak masyarakat dalam
penguasaan perusahaan pemilik HGU serta tertutup nya akses masyarakat terhadap ekonomi dan kepemilikan
tanah yang tumpang tindih dengan Perusahaan HGU. Akibat dari penguasaan secara
monopolistic menyebabkan:
1.
Rasa tidak adil terutama bagi masyarakat
di dalam dan sekitar HGU.
2.
Lemahnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan perkebunan.
3.
Tidak terkontrolnya kesesuaian
penggunaan HGU.
Merujuk uraian di atas, dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris
(socio-legal studies), yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana upaya penyelesaian konflik hukum dalam
pengelolaan HGU.
Analisis Hukum
Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Pengaturan lembaga pemerintah non
departemen tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang, yang diatur adalah
tugas dan fungsi. Pertanyaannya produk hukum yang dikeluarkan Badan Pertanahan
Nasional tergolong peraturan
perundang-undangan atau peraturan
kebijaksanaan (beleidsregel),
hal inilah yang perlu dianalisis terlebih
dahulu. Berdasarkan ketentuan, produk hukum yang dilahirkan oleh lembaga ini adalah produk regulasi untuk menjalankan kekuasaan regulasi. Kekuasaan
regulasi adalah kekuasaan mengatur yang
diberikan kepada pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan legislasi atau untuk menjalankan
segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam kekuasaan
legislasi atau delegated legislation. Fungsi
regulasi kekuasaan eksekutif
dapat dilihat dari; (a) pendelegasian Undang-Undang
(delegated legislation): (b) peraturan kebijaksanaan. Peranan
yang begitu besar mensyaratkan setiap tindakan eksekutif atau pemerintahan
harus lahir atas wewenang yang sah, baik wewenang yang diperoleh melalui atribusi, mandat dan delegasi. Dalam praktik,
Peraturan Pemerintah adalah aturan
hukum untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang. Dalam delegasi
Undang-Undang perlu diperha tikan prinsip delegatus non potest delegate, artinya
sebuah aturan hukum yang didelegasikan oleh
aturan hukum yang lebih tinggi adalah terlarang untuk didelegasikan ke aturan hukum lain tanpa persetujuan yang mendelegasikannya.
Berdasarkan perbandingan kajian yang dilakukan
Universitas Brawijaya, penelitian yang dilakukan oleh Suhariningsih, Istislam, Imam Koeswahyono dan
Dianawati menyimpulkan:
1.
perlunya
dukungan hukum normatif untuk pengelolaan kebijakan HGU dimana peraturan yang
tersebar menyulitkan untuk dimengerti oleh pejabat sektoral terkait dan masih
lemah.
2.
Implementasi
kebijakan HGU yang rawan akan konflik dengan masyarakat apabila dirunut secara
historis ternyata ada pengambilalih an tanah
masyarakat secara sepihak oleh perusahaan.
3.
Badan
Pertanahan Nasional berke pentingan untuk mengawasi, memberikan kepastian terkait
hak dan kewajiban pada pemilik HGU.
4.
Realisasi
tanggung jawab sosial pemegang HGU wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
atau kesepakatan yang berlaku.
Berdasarkan uraian dan analisis di
atas terlihat bahwa beleidsregel tentang HGU masih lemah. UUPA No 5
Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah terlihat belum mengatur secara tegas mengenai sanksi, evaluasi kebijakan
pemberian, monitoring dan kontrol di lapangan.
Kondisi ini membuat pemaknaan yang dilakukan perusahaan pemegang HGU adalah
diperkenankan mengeksplorasi SDA yang cenderung melampaui batas sehingga mengakibatkan kesenjangan ekonomi dan berdampak munculnya konflik serta perlawanan masyarakat. Disisi lain wewenang
yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas, perkebunan yang berkaitan
dengan HGU belum signifikan dalam mencegah penelantaran tanah dan
kesenjangan ekonomi. Kondisi ini dilematis, disatu sisi kontrol dan evaluasi kebijakan pemberian
HGU sangat lemah tetapi dilain pihak BPN dituntut adil dalam memberikan HGU
Persoalan timbul pada saat masa HGU habis. Masukan dari NGO/ LSM terkait track
record pengelolaan HGU oleh perusahaan dapat dijadikan referensi BPN untuk
memperpanjang pemberian HGU atau tidak.
Lemahnya beleidregel
ini terlihat dalam kasus mesuji lampung dan konflik HGU lainnya di Indonesia,
hal tersebut lebih disebabkan tidak akurat
nya keterangan mengenai tanahnya
yang meliputi data yuridis dan data
fisik :
·
Dasar
penguasaan, izin lokasi (apabila pemohon badan hukum), SK pelepasan kawasan
hutan dari Menhut (apabila tanah berasal dari kawasan hutan), akta pelepasan
bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.
·
Peta
Bidang Tanah/surat ukur yang memuat letak, batas-batas, luas, tanggal, nomor
dan NIB.
·
Peruntukkan(pertanian/perkebunan,
perikanan atau peternakan).
·
Keterangan
mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk
bidang tanah yang dimohon.
Kesenjangan ekonomi
antara pemegang HGU dan masyarakat juga memicu konflik dan berdampak pada kondisi sosial
masyarakat, ditambah lemahnya sanksi
dalam PP 40 tahun 1996 membuat konflik di area HGU semakin bergolak.
Menindak lanjuti penelitian di atas diperlukan langkah
hukum normatif yang tegas. Apabila SK atau sertipikat HGU dikeluarkan ada unsur
cacad yuridis maupun administrasi dan ada indikasi merugikan pemegang HGU, konsekuensinya
keputusan tata usaha negara
tersebut dapat digugat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Yudhi setiawan menjelaskan bahwa ketentuan
Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang tahun 1986 dalam
hal ini ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a dapat digunakan secara terbatas,
yaitu dalam hal terdapat rumusan undang-undang tersamar (norma tersamar).
Terhadap rumusan undang-undang tersamar ”kewenangan bebas” pemerintahan berupa
kewenangan interpretasi. Terhadap interpretasi itulah dapat diterapkan AUPB.
Dengan demikian dalam pertimbangan AUPB diterapkan melalui interpretasi
terhadap peraturan perundang-undangan namun dalam putusan dinyatakan bahwa
keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c
yaitu adanya unsur ”penyalah gunaan
wewenang” dan ”tindakan sewenang-wenang” hanya dapat diukur dari asas kepercayaan (het
vertrouwens beginsel),
asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play). Sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c terbuka kemungkinan untuk menampung AUPB. Dalam
pertimba- ngan asas-asas itu digunakan untuk menilai namun dalam
diktum putusan bahwa
keputusan tata usaha negara yang digugat dinyatakan batal karena mengandung unsur tindakan sewenang -wenang. Pengujian
keputusan tata usaha negara dalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dilakukan pengujian secara materiil tidak
hanya terbatas karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagai hukum
tertulis, tetapi juga karena bertentangan dengan hukum tidak tertulis yaitu
AUPB. Ini berarti pengujian keputusan yang merupakan peraturan kebijaksanaan dapat
dilakukan pengujian secara tidak langsung oleh hakim peradilan tata usaha
negara.
Dari uraian di atas diketahui bahwa pengujian secara materiil peraturan
kebijaksanaan oleh hakim peradilan tata usaha negara menurut ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Pasal 14 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dilakukan
dengan menerapkan AUPB dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan.
Peraturan
kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid,
karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan
membuat peraturan kebijak sanaan.
Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan diskresi dan ketiadaan wewenang
administrasi (negara) membuat peraturan perundang-undangan. Baik karena secara
umum tidak berwenang maupun untuk obyek bersangkutan tidak berwenang mengatur. Pengujian
terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarah kan pada doelmategheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB). Jika
terjadi sengketa atas dasar peraturan kebijaksanaan, dan hakim peradilan tata
usaha negara menganggap telah terjadi pelanggaran oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota (BPN) misalnya, sehingga ”bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, batu ujinya adalah pelanggaran asas kepercayaan (het vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play) dari AUPB. Dasar pengujian (toetsings gronden) yang diambil oleh
hakim peradilan tata usaha negara adalah ada tidaknya pelanggaran atas asas kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play) dari AUPB tersebut, dalam pertimbangan putusan harus disebutkan asas mana yang dilanggar.
Penjelasan di atas sesuai dengan JUKLAK Mahkamah Agung
Nomor 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 bahwa: Di
dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintah yang baik
sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukan
dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan
menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilanggar
dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2).
Indroharto
menjelaskan bahwa hukum publik merupakan pengaturan hal-hal atau
keadaan-keadaan yang berada dalam suasana budaya politik yang mendorong agar
kegiatan pemerintahan itu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan.
Peraturan-peraturan demikian itu dapat berupa peraturan mengenai organisasi
pemerin tah, dapat pula peraturan yang memberikan
wewenang-wewenang pemerintahan kepada para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan terhadap warga masyarakat. Atau sebaliknya ada pula
peraturan-peraturan yang memberikan hak-hak untuk menuntut sesuatu dari para
Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Namun ada satu macam
kesamaan umum yang perlu dicatat dari semua macam peraturan hukum publik itu,
yaitu: tiap peraturan hukum publik itu selalu mengenai hubungan hukum yang
timbul atau dapat timbul sebagai akibat dari turut campurnya atau kepedulian
pemerintah dalam suatu bidang kehidupan dalam masyarakat.
Sengketa atau kasus
di perkebunan pada umumnya adalah sengketa antara masyarakat di satu sisi dan
perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sisi lain, dalam bentuk penjarahan
hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi
kebutuhan hidup akibat dari desakan krisis ekonomi, sementara tanah-tanah HGU
tersebut dalam keadaan tidak ditanami atau memang disediakan untuk replantasi/peremajaan
tanaman. Penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan selain untuk pemenuhan
kebutuhan hidup, juga yang terjadi dalam bentuk reclaiming action yaitu
tuntutan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap
diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi
yang layak pada puluhan tahun yang lalu atau ada dugaan bahwa luas hasil ukur
yang diterbitkan HGU berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Pemerintah (BPN) berusaha
mencari solusi penyelesaian yang terbaik berdasarkan perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku dan rasa keadilan dengan menghormati hak dan kewajiban para pihak.
Terhadap tanah-tanah perkebunan (HGU) yang diduduki rakyat karena tidak diusahakannya
baik sebagai akibat kelalaian pemilik perkebunan, maka tanah yang diduduki
rakyat dapat dikeluarkan dari areal HGU yang kemudian ditata kembali
penggunaan, penguasaan dan kepemilikan tanahnya sesuai tata ruang yang ada.
Peran BPN dalam
penyelesaian Kasus konflik HGU
Pola sengketa tanah umumnya tidak terjadi di antara
sesama kelas petani, tetapi di antara para petani dan perusahaan yang dimiliki
investor dan pemerintah. Kebanyakan kasus konflik HGU pada saat ini tidak
diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi di antara perusahaan dan
para warga yang menuntut dengan mediator pemerintah. Oleh karena itu, peranan
pemerintah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi
proses dan solusi konflik HGU di Indonesia. Agar pemberian HGU tidak berpotensi
menimbulkan konflik maka diperlukan administrasi pertanahan
yang dapat menunjang pelaksanaan pendaftaran tanah maka dibutuhkan persyaratan
lain yaitu didukung dengan sarana dan prasarana pendukung, baik hukum yang
berkeadilan, institusi hukum, profesionalisme pejabat, namun juga kerangka jaminan
keamanan bagi pemegang hak atas tanah yang dikuasai. Persyaratan itu diperlukan seperti penjelasan Ian P. Williamson:
a Land
administration infrastructure requires a legal framework which enforces the
rules of law. Such a framework require not only good laws butalso legal
institutions, professionals and government officials who versed in the law, and
justice system which enforces the law. Such a legal framework is essential to
ensure that land holders are secure in their occupation, they are not disposed
without due process and compensation, and the land market can function with
confidence and securily.
Jaminan keamanan bagi peme gang hak dan kompensasi adalah hal penting yang harus masuk dalam
lembaga pendaftaran tanah dalam kerangka sistem pertanahan, mengingat tanah dan
manusia mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, untuk itulah
peranan penting lembaga pendaftaran tanah dalam kerangka sistem administrasi
bidang pertanahan harus lengkap dan komprehensif guna dapat mendukung pembangunan. Penegasan tersebut berdampak pada penegakan
hukum sehingga kedepan perlu revisi PP No 40 Tahun 1996 dimana ada sanksi tegas
apabila ada upaya perusahaan pemegang hak guna usaha tidak menjalankan
keputusan sebagaimana yang telah ditetapkan. Mekanisme pengawasan perlu diting
katkan serta perlu pelibatan masyarakat dalam penetapan batas tanah-tanah
yang berbatasan langsung dengan tanah masyarakat guna melengkapi asas
kontradiktur delimi tasi dalam pendaftaran tanah perkebunan HGU.
Kesimpulan
1. Konflik HGU dilatarbelakangi fakta sejarah pasca penjajahan Belanda dan Jepang bahwa HGU pada masa yang merupakan wujud eksploitasi kekayaan bangsa Indonesia untuk
kepentingan penjajah, dan pasca penjajahan
perkebunan dinasionali sasi pemerintah Indonesia ternyata masih mengutamakan
kepentingan perusahaan perkebunan
milik negara atau swasta dibandingkan dengan kepentingan
rakyat yang kemudian memicu timbulnya konflik.
2. Peraturan yang ada masih kurang tegas mengatur, mengevaluasi, dan mengkontrol
dampak kebijakan pemberian HGU yang berakibat terjadinya kesenjangan ekonomi.
Saran
1. Perlunya political will untuk penguatan ekonomi masyarakat dengan program
pemberdayaan masyarakat secara khusus terhadap perusahaan pemegang HGU dan
program strategis BPN misalnya reforma agraria. Untuk meredam konflik masyarakat dan pemegang HGU
selama belum diaturnya peraturan yang lebih tegas BPN harus memperhatikan
advokasi atau upaya mediasi yang dilakukan LSM atau NGOs sebagai dasar pertimba- ngan kebijakan pemberian HGU kepada perusahaan. Permohonan perpanjangan HGU dilakukan dengan kontrol ketat atas status bidang-bidang tanah atau batasan tanah, luasan tanah, dan pola-pola kemitraan yang akan dibangun agar mampu memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.
2. Perlunya pengaturan tentang hak dan kewajiban pemegang HGU yang lebih kuat dengan merevisi PP 40 Tahun 1996
----- ooo 0 ooo -----
Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI
Jamali Burma
Email : serikatpekerjaacehindonesia@gmail.com