MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Rabu, 16 Agustus 2017

UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK HUKUM DALAM PENGELOLAAN HGU DI INDONESIA

abstrak
Penelitian ini berupaya mengungkap penyelesaian konflik hukum dalam pengelolaan HGU di Indonesia; dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris (socio-legal studies), penelitian ini menginformasikan perlu political will untuk penguatan ekonomi masyarakat dengan program pemberdayaan masyarakat secara khusus terhadap perusahaan pemegang HGU dan program strategis BPN misalnya reforma agraria dan perlunya pengaturan tentang hak dan kewajiban pemegang HGU yang lebih kuat dengan merevisi PP 40 Tahun 1996
Kata Kunci: Konflik Hukum, Pengelolaan HGU

Latar Belakang
Hak Guna Usaha (HGU) merupa kan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu dan didahuluipenetapan pemerintah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku[2]. Persoalantanah ini merupakan problem klasik di negara kita dimana sumber daya yang secara kuantitas terbatas akan tetapi akibat pengelolaan yang tidak tepat dapat berimplikasi sangat kompleks dan multidimensi. Tanah, satu-satunya harta paling berharga bagi kaum tani. Keberadaan dan kepemili kan tanah menjadi faktor penentu keberlan jutan hidup petani. Kondisi ini ternyata masih belum bisa terlaksa na dimana ketimpangan kepemilikan dan penguasaan yang menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan aspek hukum akibat lemahnya regulasi dan peraturan yang kurang revelan dan  makin banyaknya gesekan yang terjadi. Pemerintah yang seharusnya menjamin ketersediaan dan kemakmuran hidup rakyatnya terkesan kurang melakukan upaya untuk memfa silitasi rakyat guna mendapat hak atas tanah.
Sejarah pertanahan di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan dimana pada saat itu semua tanah dikuasai oleh raja. Kebijakan tersebut terus berlanjut pada saat Inggris menjajah Indonesia tahun 1811-1816. Pemerintah Ingris membuaat peraturan yang menyatakan bahwa semua tanah sepenuhnya adalah milik raja atau pemerintah sehingga petani hanya berhak mengolahnya dan wajib menyerahkan 2/5 dari hasil garapannya kepada pemerintah sebagai balas jasa, hal ini lebih lanjut dikenal dengan teori Rafles[3]. Nasib petani bertambah buruk pada masa penjajahan hindia belanda yang selain menerapkan sistem tanam paksa juga mengharuskan petani bekerja di perkebunan Belanda. Pada masa ini pula, Teori rafles yang sudah sangat memberatkan petani diganti Culture Stelsel yang mewajib kan petani menanami 1/5 luas tanahnya dengan jenis tanaman yang ditentukan Belanda dan hasilnya seluruhnya diserahkan pada Belanda. Kebijakan ini semakin membelenggu kebebasan petani untuk menjalankan haknya. Nasib buruk tidak berhenti sampai disana. Pada masa itu keluar kebijakan semua tanah yang tidak berpemilik, tidak ada bukti kepemilikan sah atau terlantar adalah milik negara dan dikuasai belanda. Kebijakan ini dalam Agrarische besluit menerapkan domein in verklaring. Para pemilik tanah yang notabene adalah petani tidak mampu tidak dapat mempertahankan dan mendapatkan pengakuan hak miliknya, sehingga kehilangan hak atas tanahnya.
Pemerintah Belanda rupanya belum puas hanya menguasai tanah rakyat, belanda juga menerapkan kebijakan baru yang diperkuat dalam UU Agraria 1870, dengan UU ini Belanda memberi banyak peluang pada investor swasta belanda untuk menanamkan modal di perkebuan Indonesia.Fakta sejarah menyimpulkan perkebunan HGU merupakan sarang konflik pertanahan apabila tidak dikelola secara optimal.
Sumber daya alam khususnya tanah secara terperinci diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai sepenuhnya oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna pasal tersebut apabila kita telaah secara seksama adalah kewajiban Negara untuk mensejahterakan masyarakat secara utuh tanpa terkecuali. Salah satu sumber kemakmuran bagi masyarakat adalah tanah[4]. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 memperinci lagi dimana dalam Pasal 6 ditentukan bahwa tanah memiliki fungsi sosial berarti dalam pengelolaannya harus mampu memberi kan kontribusi semaksimal kepada segenap rakyat Indonesia[5]
Amanat Negara dalam pengelola an tanah untuk kesejahteraan masyara kat ini yang menjadi dasar wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk memperjuangkan cita-cita luhur tersebut. Secara yuridis ada 5 fungsi yang wajib dijalankan Badan Pertanahan Nasional antara lain:
1.      Pengaturan (regelendaad);
2.      Pengelolaan (beheersdaad);
3.      Kebijakan (beleid);
4.      Pengurusan (bestuursdaad);
5.      Pengawasan (toezichthoudens- daad)[6].
Penjabaran kelima fungsi tersebut salah satunya adalah kebijakan pemberian Hak Guna Usaha yang secara filosofis diatur dalam Pasal 16 UUPA Tahun 1960  dan PP No 40 Tahun 1996. Secara yuridis negara memberi kesempatan kepada Warga Negara Indonesia  dan  Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia untuk mempergunakan tanah semaksimal mungkin untuk kegiatan ekonomi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Hak guna usaha yang diberikan kepada badan hukum Indonesia dan Warga Negara Indonesia seyogyanya tidak boleh bertentangan dengan pasal 1-15 UUPA sebagai landasan filosofis. Implementasi HGU di Indonesia ternyata tidak seperti harapan yang di inginkan sebab banyak tanah negara yang telah dilekati Hak Guna Usaha justru menimbulkan persoalan baru karena ketidaksesuaian pelaksanaan antara aturan dan fakta dilapangan. diantaranya adalah:
1.    Pemegang HGU cenderung tidak memperhatikan ekosistem setempat sehingga merugikan masyarakat sekitar akibat eksploitasi berlebihan.
2.    Pemegang HGU tidak mampu mengoptimalisasi tanah sehingga masyarakat sekitar melakukan reclaiming
3.    Pemegang HGU kurang memperhati kan keberadaan masyarakat sekitar.
4.    Adanya Tumpang tindih antara Tanah Area HGU dan Tanah yang dikuasai oleh masyarakat.
Kondisi ini jelas merugikan masyarakat sekitar dan pemegang HGU itu sendiri sebab konflik dan pertentangan membuat proses produksi di area HGU menjadi terhambat karena adanya reaksi masyarakat. Mencegah kondisi ini Badan Pertanahan Nasional sebagai institusi yang berwenang memberi Hak Guna Usaha berupaya melakukan tindakan preventif dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
          Kenyataan dalam praktik masih ditemui persoalan berkaitan dengan Hak Guna Usaha dimana pemberian HGU ini masih menguntungkan segelintir orang yakni perusahan dan pemilik modal yang memiliki Hak Guna Usaha. Fakta ini makin terlihat banyak sekali resistensi masyarakat pada perusahaan pemegang  Hak Guna Usaha, kondisi ini tidak sesuai dengan  4 pilar utama yang merupakan fungsi kontrol BPN, yaitu:
1.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatdan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat.
2.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan tata kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dengan P4T.
3.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyaraka tan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan membuka akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang dan pada sumber ekonomi masyarakat yaitu tanah.
4.    Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Republik Indonesia dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Berkenaan dengan itu Badan Pertanahan Nasional perlu melakukan kontrol dalam pemberian Hak Guna Usaha dan merangkul perusahaan pemegang Hak Guna usaha untuk secara aktif terlibat dalam pemberdaya an sesuai amanat undang-undang:
1.      UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, di dalam Pasal 12 Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila menurut penilaian Menteri hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana ayat dipersyaratkan dan ditelantar kan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak diberikan hak guna usaha yang bersangkutan.           
2.      UU Nomor 40 tahun 2007 tentang  Perseroan Terbatas mengenai Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Pasal 74
¾  Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
¾  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimak sud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannyadilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
¾  Perseroan yang tidak melaksana kan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
¾  Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
3.      PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang  Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 4 ayat (3) dan (4)
¾  Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksa naan ketentuan Hak Guna Usaha baru dapat dilaksanakan setelah selesai pelepasan hak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
¾  Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberada annya berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru.
Hak Guna Usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu dan didahului penetapan pemerintah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku[7]. Persoalan tanah ini merupakan problem klasik di negara kita dimana sumberdaya yang secara kuantitas terbatas akan tetapi akibat pengelolaan yang tidak tepat dapat berimplikasi sangat kompleks dan multidimensi. Tanah, satu-satunya harta yang paling berharga bagi kaum tani. Keberadaan dan kepemilikan tanah menjadi faktor penentu keberlanjutan hidup petani. Kondisi ini ternyata masih belum bisa terlaksana dimana ketimpangan kepemilikan dan penguasaan yang menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan beberapa aspek hukum akibat lemahnya regulasi dan peraturan yang kurang revelan dan  semakin banyaknya gesekan yang terjadi. Pemerintah yang seharusnya menjamin ketersediaan dan kakmuran hidup rakyatnya terkesan kurang melakukan upaya untuk memfasilitasi rakyat guna mendapat hak atas tanah.
Berkenaan dengan itu apabila dalam pelaksanaan dilapangan ditemu kan konflik hukum dan konflik horizontal maka yang patut ditelusuri adalah proses pengeluaran SK HGU (sertipikat) hak guna usaha dan pertimbangan yang harus dilakukan perusahaan atau masyarakat dalam pengelolaan HGU agar sesuai dengan ketetapan Peraturan pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Kondisi HGU merupakan cermin dari kondisi agraria di Indonesia dimana sebagian besar HGU kita dikuasai secara monopolistik[8]. Catatan KPA konflik di sektor Perkebunan HGU menduduki urutan ketiga dalam tingkat paling banyak konflik setelah Kehutanan dan pertambangan. Konflik perkebunan terjadi karena terjadi pendelegasian hak masyarakat dalam penguasaan perusahaan pemilik HGU serta tertutup nya akses masyarakat terhadap ekonomi dan kepemilikan tanah yang tumpang tindih dengan Perusahaan HGU. Akibat dari penguasaan secara monopolistic menyebabkan:
1.    Rasa tidak adil terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar HGU.
2.    Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkebunan.
3.    Tidak terkontrolnya kesesuaian penggunaan HGU.
Merujuk uraian di atas, dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris (socio-legal studies), yang menjadi permasalahan adalah bagaimana upaya penyelesaian konflik hukum dalam pengelolaan HGU.
Analisis Hukum
Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Pengaturan lembaga pemerintah non departemen tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang, yang diatur adalah tugas dan fungsi. Pertanyaannya produk hukum yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional tergolong peraturan perundang­-undangan atau peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), hal inilah yang perlu dianalisis terlebih dahulu. Berdasarkan ketentuan, produk hukum yang dilahirkan oleh lembaga ini adalah produk regulasi untuk menjalankan kekuasaan regulasi. Kekuasaan regulasi adalah kekuasaan mengatur yang diberikan kepada pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan legislasi atau untuk menjalankan segala sesuatu hal pokok yang dituangkan dalam kekuasaan legislasi atau delegated legislation. Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari; (a) pendelegasian Undang-Undang (delegated legislation): (b) peraturan kebijaksanaan. Peranan yang begitu besar mensyaratkan setiap tindakan eksekutif atau pemerintahan harus lahir atas wewenang yang sah, baik wewenang yang diperoleh melalui atribusi, mandat dan delegasi. Dalam praktik, Peraturan Pemerintah adalah aturan hukum untuk melaksanakan ketentuan Undang­-Undang. Dalam delegasi Undang-Undang perlu diperha tikan prinsip delegatus non potest delegate, artinya sebuah aturan hukum yang didelegasikan oleh aturan hukum yang lebih tinggi adalah terlarang untuk didelegasikan ke aturan hukum lain tanpa persetujuan yang mendelegasikannya.[9] Berdasarkan perbandingan kajian yang dilakukan Universitas Brawijaya, penelitian yang dilakukan oleh Suhariningsih, Istislam, Imam Koeswahyono dan Dianawati[10] menyimpulkan:
1.    perlunya dukungan hukum normatif untuk pengelolaan kebijakan HGU dimana peraturan yang tersebar menyulitkan untuk dimengerti oleh pejabat sektoral terkait dan masih lemah.
2.    Implementasi kebijakan HGU yang rawan akan konflik dengan masyarakat apabila dirunut secara historis ternyata ada pengambilalih an tanah masyarakat secara sepihak oleh perusahaan.
3.    Badan Pertanahan Nasional berke pentingan untuk mengawasi, memberikan kepastian terkait hak dan kewajiban pada pemilik HGU.
4.    Realisasi tanggung jawab sosial pemegang HGU wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau kesepakatan yang berlaku.
Berdasarkan uraian dan analisis di atas terlihat bahwa beleidsregel tentang HGU masih lemah. UUPA No 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah terlihat belum mengatur secara tegas mengenai sanksi, evaluasi kebijakan pemberian, monitoring dan kontrol di lapangan. Kondisi ini membuat pemaknaan yang dilakukan perusahaan pemegang HGU adalah diperkenankan mengeksplorasi SDA yang cenderung melampaui batas sehingga mengakibatkan kesenjangan ekonomi dan berdampak munculnya konflik serta perlawanan masyarakat. Disisi lain wewenang yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas, perkebunan yang berkaitan dengan HGU belum signifikan dalam mencegah penelantaran tanah dan kesenjangan ekonomi. Kondisi ini dilematis, disatu sisi kontrol dan evaluasi kebijakan pemberian HGU sangat lemah tetapi dilain pihak BPN dituntut adil dalam memberikan HGU[11] Persoalan timbul pada saat masa HGU habis. Masukan dari NGO/ LSM terkait track record pengelolaan HGU oleh perusahaan dapat dijadikan referensi BPN untuk memperpanjang pemberian HGU atau tidak.
Lemahnya beleidregel ini terlihat dalam kasus mesuji lampung dan konflik HGU lainnya di Indonesia, hal tersebut lebih disebabkan  tidak akurat nya keterangan mengenai tanahnya yang  meliputi data yuridis dan data fisik[12] :
·      Dasar penguasaan, izin lokasi (apabila pemohon badan hukum), SK pelepasan kawasan hutan dari Menhut (apabila tanah berasal dari kawasan hutan), akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.
·      Peta Bidang Tanah/surat ukur yang memuat letak, batas-batas, luas, tanggal, nomor dan NIB.
·      Peruntukkan(pertanian/perkebunan, perikanan atau peternakan).
·      Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon.
Kesenjangan ekonomi antara pemegang HGU dan masyarakat juga memicu konflik dan berdampak pada kondisi sosial masyarakat, ditambah  lemahnya sanksi dalam PP 40 tahun 1996 membuat konflik di area HGU semakin bergolak.
Menindak lanjuti penelitian di atas diperlukan langkah hukum normatif yang tegas. Apabila SK atau sertipikat HGU dikeluarkan ada unsur cacad yuridis maupun administrasi dan ada indikasi merugikan pemegang HGU, konsekuensinya keputusan tata usaha negara tersebut dapat digugat karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Yudhi setiawan menjelaskan bahwa  ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang tahun 1986 dalam hal ini ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a dapat digunakan secara terbatas, yaitu dalam hal terdapat rumusan undang-undang tersamar (norma tersamar). Terhadap rumusan undang-undang tersamar ”kewenangan bebas” pemerintahan berupa kewenangan interpretasi. Terhadap interpretasi itulah dapat diterapkan AUPB. Dengan demikian dalam pertimbangan AUPB diterapkan melalui interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan namun dalam putusan dinyatakan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yaitu adanya unsur ”penyalah gunaan wewenang” dan ”tindakan sewenang-wenang” hanya dapat diukur dari asas kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play). Sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c terbuka kemungkinan untuk menampung AUPB. Dalam pertimba- ngan asas-asas itu digunakan untuk menilai namun dalam diktum putusan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat dinyatakan batal karena mengandung unsur tindakan sewenang -wenang. Pengujian keputusan tata usaha negara dalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dilakukan pengujian secara materiil tidak hanya terbatas karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, tetapi juga karena bertentangan dengan hukum tidak tertulis yaitu AUPB. Ini berarti pengujian keputusan yang merupakan peraturan kebijaksanaan dapat dilakukan pengujian secara tidak langsung oleh hakim peradilan tata usaha negara.[13] Dari uraian di atas diketahui bahwa pengujian secara materiil peraturan kebijaksanaan oleh hakim peradilan tata usaha negara menurut ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 14 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dilakukan dengan menerapkan AUPB dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan.[14]
Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan membuat peraturan kebijak sanaan. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan diskresi dan ketiadaan wewenang administrasi (negara) membuat peraturan perundang-undangan. Baik karena secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek bersangkutan tidak berwenang mengatur. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarah kan pada doelmategheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Jika terjadi sengketa atas dasar peraturan kebijaksanaan, dan hakim peradilan tata usaha negara menganggap telah terjadi pelanggaran oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (BPN) misalnya, sehingga ”bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, batu ujinya adalah pelanggaran asas kepercayaan (het vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play)  dari AUPB.  Dasar pengujian (toetsings gronden) yang diambil oleh hakim peradilan tata usaha negara adalah ada tidaknya pelanggaran atas asas kepercayaan  (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play)  dari AUPB tersebut,  dalam pertimbangan putusan harus disebutkan asas mana yang dilanggar.[15]
Penjelasan di atas sesuai dengan JUKLAK Mahkamah Agung Nomor 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 bahwa: Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintah yang baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilanggar dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2).
Indroharto[16] menjelaskan bahwa hukum publik merupakan pengaturan hal-hal atau keadaan-keadaan yang berada dalam suasana budaya politik yang mendorong agar kegiatan pemerintahan itu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan. Peraturan-peraturan demikian itu dapat berupa peraturan mengenai organisasi pemerin tah, dapat pula peraturan yang memberikan wewenang-wewenang pemerintahan kepada para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang bersangkutan terhadap warga masyarakat. Atau sebaliknya ada pula peraturan-peraturan yang memberikan hak-hak untuk menuntut sesuatu dari para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Namun ada satu macam kesamaan umum yang perlu dicatat dari semua macam peraturan hukum publik itu, yaitu: tiap peraturan hukum publik itu selalu mengenai hubungan hukum yang timbul atau dapat timbul sebagai akibat dari turut campurnya atau kepedulian pemerintah dalam suatu bidang kehidupan dalam masyarakat.
Sengketa atau kasus di perkebunan pada umumnya adalah sengketa antara masyarakat di satu sisi dan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sisi lain, dalam bentuk penjarahan hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat dari desakan krisis ekonomi, sementara tanah-tanah HGU tersebut dalam keadaan tidak ditanami atau memang disediakan untuk replantasi/peremajaan tanaman. Penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, juga yang terjadi dalam bentuk reclaiming action yaitu tuntutan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi yang layak pada puluhan tahun yang lalu atau ada dugaan bahwa luas hasil ukur yang diterbitkan HGU berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Pemerintah (BPN)[17] berusaha mencari solusi penyelesaian yang terbaik berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku dan rasa keadilan dengan menghormati hak dan kewajiban para pihak. Terhadap tanah-tanah perkebunan (HGU) yang diduduki rakyat karena tidak diusahakannya baik sebagai akibat kelalaian pemilik perkebunan, maka tanah yang diduduki rakyat dapat dikeluarkan dari areal HGU yang kemudian ditata kembali penggunaan, penguasaan dan kepemilikan tanahnya sesuai tata ruang yang ada.
Peran BPN dalam penyelesaian Kasus konflik HGU
Pola sengketa tanah umumnya tidak terjadi di antara sesama kelas petani, tetapi di antara para petani dan perusahaan yang dimiliki investor dan pemerintah. Kebanyakan kasus konflik HGU pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi di antara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan mediator pemerintah. Oleh karena itu, peranan pemerintah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi konflik HGU di Indonesia. Agar pemberian HGU tidak berpotensi menimbulkan konflik maka diperlukan administrasi pertanahan yang dapat menunjang pelaksanaan pendaftaran tanah maka dibutuhkan persyaratan lain yaitu didukung dengan sarana dan prasarana pendukung, baik hukum yang berkeadilan, institusi hukum, profesionalisme pejabat, namun juga kerangka jaminan keamanan bagi pemegang hak atas tanah yang dikuasai. Persyaratan itu diperlukan seperti penjelasan Ian P. Williamson:
a Land administration infrastructure requires a legal framework which enforces the rules of law. Such a framework require not only good laws butalso legal institutions, professionals and government officials who versed in the law, and justice system which enforces the law. Such a legal framework is essential to ensure that land holders are secure in their occupation, they are not disposed without due process and compensation, and the land market can function with confidence and securily.[18]
Jaminan keamanan bagi peme gang hak dan kompensasi adalah hal penting yang harus masuk dalam lembaga pendaftaran tanah dalam kerangka sistem pertanahan, mengingat tanah dan manusia mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, untuk itulah peranan penting lembaga pendaftaran tanah dalam kerangka sistem administrasi bidang pertanahan harus lengkap dan komprehensif guna dapat mendukung pembangunan. Penegasan tersebut berdampak pada penegakan hukum sehingga kedepan perlu revisi PP No 40 Tahun 1996 dimana ada sanksi tegas apabila ada upaya perusahaan pemegang hak guna usaha tidak menjalankan keputusan sebagaimana yang telah ditetapkan. Mekanisme pengawasan perlu diting katkan serta perlu pelibatan masyarakat dalam penetapan batas tanah-tanah yang berbatasan langsung dengan tanah masyarakat guna melengkapi asas kontradiktur delimi tasi dalam pendaftaran tanah perkebunan HGU.
Kesimpulan
1.    Konflik HGU dilatarbelakangi fakta sejarah pasca penjajahan Belanda dan Jepang bahwa HGU pada masa yang merupakan wujud eksploitasi kekayaan bangsa Indonesia untuk kepentingan penjajah, dan pasca penjajahan perkebunan dinasionali sasi pemerintah Indonesia ternyata masih mengutamakan kepentingan perusahaan perkebunan milik negara atau swasta dibandingkan dengan kepentingan rakyat yang kemudian memicu timbulnya konflik.
2.    Peraturan yang ada masih kurang tegas mengatur, mengevaluasi, dan mengkontrol dampak kebijakan pemberian HGU yang berakibat terjadinya kesenjangan ekonomi.
Saran
1.    Perlunya political will untuk penguatan ekonomi masyarakat dengan program pemberdayaan masyarakat secara khusus terhadap perusahaan pemegang HGU dan program strategis BPN misalnya reforma agraria. Untuk meredam konflik masyarakat dan pemegang HGU selama belum diaturnya peraturan yang lebih tegas BPN harus memperhatikan advokasi atau upaya mediasi yang dilakukan LSM atau NGOs sebagai dasar pertimba- ngan kebijakan pemberian HGU kepada perusahaan. Permohonan perpanjangan HGU dilakukan dengan kontrol ketat atas status bidang-bidang tanah atau batasan tanah, luasan tanah, dan pola-pola kemitraan yang akan dibangun agar mampu memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.
2.    Perlunya pengaturan tentang hak dan kewajiban pemegang HGU yang lebih kuat dengan merevisi PP 40 Tahun 1996
----- ooo 0 ooo -----
Narasumber : Ketua Umum DPP-SPAI
                       Jamali Burma
Email : serikatpekerjaacehindonesia@gmail.com
Share:

0 komentar:

Posting Komentar