MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Senin, 09 Januari 2017

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2015 tentang Pengupahan

  pada pokoknya adalah tentang tidak dibayarnya gaji Anda dan teman-teman pekerja lain untuk bulan Desember. Hal tersebut bertentangan dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sebelumnya, ada baiknya kita melihat definisi pekerja yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan di bawah ini:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Dengan demikian, “bekerja” dan “upah” adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga upah merupakan hak Anda yang harus diperjuangkan selama Anda menjalankan tugas sebagai pekerja.

Hal tersebut juga didukung ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Di samping itu, terdapat juga pengecualian-pengecualian terhadap pekerja yang tidak melakukan pekerjaan namun disebabkan alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, seperti misalnya karena sakit, dll. Dengan demikian, apabila selama Desember tersebut Anda masih melaksanakan pekerjaan, maka Anda dan teman-teman Anda berhak atas upah yang belum dibayarkan tersebut.

Apabila perusahaan tempat Saudara bekerja tidak memberikan upah atau terlambat membayar upah Anda, maka perusahaan tersebut dapat dikenakan denda.[1]

Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”) diatur bahwa Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda, dengan ketentuan:[2]
a.    mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b.    sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c.    sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.

Perlu diketahui bahwa pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.[3]

Dari uraian di atas jelas bahwa upah merupakan komponen yang penting dan pokok dalam hubungan industrial, sehingga UU Ketenagakerjaan dan PP 78/2015 memberikan perlindungan atas upah. Upaya yang dapat Anda dan teman-teman Anda lakukan dalam hal ini adalah menempuh melalui jalur atau cara-cara sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (“UU PPHI”). Dasar perselisihan antara Anda dengan pengusaha adalah perselisihan hak. Yang dimaksud dengan perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU PPHI adalah:

“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.

Jalur atau cara yang Saudara dapat tempuh berdasarkan ketentuan UU PPHI dalam upaya penyelesaian perselisihan mengenai hak atas upah antara lain:

1.    Jalur Bipartit adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yang berupa perselisihan hak antara pekerja dengan pengusaha. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari.[4]

Jika dalam perundingan bipartit dicapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.[5] Apabila perundingan Bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur Tripartit yaitu dengan mendaftarkan ke Suku Dinas atau Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di wilayah kabupaten atau kotamadya wilayah tempat kerja Anda.[6]

2.    Jalur Tripartit adalah merupakan suatu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, dengan ditengahi oleh mediator yang berasal dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Untuk perselisihan hak, yang dapat dilakukan adalah melakukan mediasi. Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[7]

Apabila mediasi berhasil, maka hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.[8] Jika tidak terdapat titik temu, maka Mediator menuangkan hasil perundingan dalam suatu anjuran tertulis[9] dan apabila salah satu pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak dapat melakukan gugatan perselisihan pada Pengadilan Hubungan Industrial.

3.    Jalur Pengadilan Hubungan Industrial adalah jalur yang ditempuh oleh pekerja/pengusaha melalui mekanisme gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang mewilayahi tempat kerja Anda dengan dasar gugatan Perselisihan Hak berupa upah pekerja yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.[10]


Share:

0 komentar:

Posting Komentar