MENGAYOMI PEKERJA, MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA, UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA

Rabu, 14 Desember 2016

Mamak dan Adek ku Meninggal


TERLIHAT kerumunan orang di posko kesehatan TNI dan KWPSI(Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam) di Kompleks Masjid Jami’ Quba Pangwa, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, Senin (12/12). Ternyata tim medis TNI sedang memeriksa bagian belakang kepala seorang wanita paruh paya yang terluka. Aktivitas itu berlangsung di tengah raungan mesin dua alat berat yang membersihkan puing-puing masjid yang ambruk akibat gempa.
Hanya sekali menjepret dengan kamera HP. Dari celah-celah kerumunan orang, Saya melihat seorang anak duduk di atas kursi. Langsung mengubah fokus ke arah bocah itu. Kaki, paha, dan tangannya diperban. Sedangkan keningnya masih terlihat luka memerah.
Ia sekali-kali mengerang kesakitan sambil mengangkat wajah ke atas, di sandaran kursi. Wajahnya terlihat berat seperti menahan sakit yang menyayat. Sesekali dia hendak mau menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Hanya ekspresi wajah saja yang terus menahan rasa sakit yang sempurna dari sekujur tubuhnya.
Karena telapak kaki sebelah kiri dan paha kanannya terbalut perban. Tangan kanannya yang patah juga diperban dan dibungkus dengan kain yang bagiannya melingkar di leher. Luka di keningnya semakin melengkapi derita dan rasa sakit tak terperikan.
Saya mendekatinya sambil berjongkok. Melihat tangan kirinya menggenggam tangan seorang wanita di belakang kursi yang sedang bicara membelakanginya. Sudah pasti orang-orang menganggap, perempuan itu adalah ibu si bocah. “Kiban dek (gimana Dek),” saya menyapanya pelan.
“Mak ngon adek lon meuninggai (ibu dan adik saya meninggal),” ujar bocah itu sambil menahan rasa sakit.
Seketika saya terhentak dan hilang konsentrasi dengan jawaban polos bocah itu. Karena mengira wanita yang dipegang tangan dari tadi adalah ibunya. Saya terdiam sejenak, menarik nafas dalam-dalam. Untuk merangkai pertanyaan yang sulit di tengah pergolakan antara news dan nurani kemanusiaan.
“Reubah reumoh lon (roboh rumah saya),” ujar bocah itu lagi. Meski hanya tiga kata ungkapannya. Tapi sudah cukup menggambarkan bagaimana derita yang dialaminya sebagai seorang bocah.
Karena runtuhnya ratusan rumah dan bangunan lain akibat gempaberkekuatan 6,4 skala richter di Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/12) jelang Subuh. Seratus lebih orang meninggal akibat gempa dan berarti termasuk ibu dan adiknya.
Bocah berusia 10 tahun itu bernama Muntazir dari Desa Kuta Pangwa, Kecamatan Trienggadeng. Ia masih duduk di kelas 5 MIN Pangwa. Kemudian wanita yang mendampinginya itu memperjelas orang tua Muntazir yang ikut meninggal bersama adiknya dalam musibah tersebut.
Malam itu, ada orang yang menginap di rumah mereka. Muntazir tidur berempat bersama mamanya bernama Marlina, serta dua adiknya Muhammad Zikri dan yang paling kecil Muhammad Jalalus Sayuti, masih berusia 17 bulan. Di ruang lain, tidur kakek dan neneknya. “Saat kejadian itu ayahnya tidak ada di rumah, karena sedang mencari rezeki di Takengon,” ujar wanita itu.
Ketika gempa pada subuh itu, dinding rumahnya yang terbuat dari semen roboh. Ibu dan adik Muntazir yang berusia 17 bulan meninggal tertimpa reruntuhan. Innalillahi Wainna ilahirajiun. Muntazir selamat dengan luka di sekujur tubuhnya dari kaki hingga kepala. M Zikri, adik Muntazir matanya sakit, hingga harus dirawat. Kakek Muntazir dibawa ke Sigli, Kabupaten Pidie, untuk dirawat di RSU di kabupaten tersebut. Sedangkan neneknya, menemani Muntazir di tenda.
Tim dokter di posko kesehatan TNI bersama KWPSI merekomendasikan agar tangan kanan Muntazir segera dioperasi di RSU Sigli. Tak lama kemudian, Muntazir dibopong oleh seorang pria keluar dari kompleks masjid. Wanita tadi sudah siap di pinggir jalan, menghidupkan mesin dan mengemudikan sepeda motor. Muntazir pun dibawa pergi sambil menahan rasa sakit yang cukup menyiksa.
Muntazir sudah selamat dari reruntuhan gempa. Semoga tangannya segera ‘diselamatkan’. Sebelum disentuh tetanus yang mengancam separuh masa depannya. Tragedi jelang subuh itu, bakal menjadi kenangan paling pahit dan memilukan selama hidupnya. Karena kasih sayang ibu kandungnya berakhir dan adiknya juga pergi selamanya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar