Kamis, 08 Maret 2018
BOLEHKAH THR DIPOTONG JIKA KARYAWAN MENDAPAT SURAT PERINGATAN ?
Apakah ada hukumnya THR (tunjangan hari raya) dipotong oleh
pengusaha karena karyawan mendapat surat peringatan (SP)? Di perusahaan saya,
kalau SP 1 dipotong 20%, SP 2 dipotong 30% dan SP 3 dipotong 40%. Terima kasih
atas jawabannya.
Jawaban : Oleh Ketua
Umum DPP-SPAI, Jamali Burma
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pada dasarnya, pengaturan mengenai Tunjangan Hari Raya
(“THR”) secara khusus diatur dalamPeraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994
Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan
(“Permenaker 4/1994”).
THR adalah
pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau
keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain,
demikian yang disebut dalam Pasal 1 huruf d Permenaker 4/1994.
Untuk mengetahui besaran THR, maka kita berpedoman pada Pasal
3 Permenaker 4/1994:
(1) Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12
bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3
bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara
proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1(satu)
bulan upah.
(2) Upah satu bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan
tetap.
(3) Dalam hal penetapan besarnya
nilai THR menurut Kesepakatan Kerja (KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar
dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan
kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan,
Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.
Dari sini kita bisa lihat bahwa komponen
dari THR itu sendiri adalah upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Adapun apabila pengaturan mengenai besarnya nilai THR itu didasarkan pada
Kesepakatan Kerja (“KK”), atau Peraturan Perusahaan (“PP”) atau Perjanjian
Kerja Bersama (“PKB”), maka dalam konteks pertanyaan Anda ini, perlu dilihat
kembali apakah memang benar pemotongan THR didasarkan pada surat peringatan
(“SP”) itu tertuang atau didasarkan pada hal-hal di atas atau tidak.
Jika besaran THR termasuk pemotongan THR
karena SP itu memang telah sesuai dengan KK, PP,atau PKB di tempat Anda
bekerja, maka pemotongan THR berdasarkan SP yang didapat karyawan tersebut
tidak menjadi masalah. Akan tetapi, perlu diingat bahwa berdasarkan Pasal
3 ayat (3) Permenaker 4/1994 besaran THR berdasarkan KK,
PP, PKB, atau kebiasaan tidak boleh kurang dari yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Apabila pemotongan THR tersebut menghasilkan suatu besaran THR
di bawah yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka hal ini bertentangan
dengan hukum.
Sebagai contoh, dengan asumsi masa kerja
selama 8 bulan dengan total upah pokok dan tunjangan tetap sebesar
Rp3.000.000,-, maka besarnya THR yang wajib diberikan pengusaha kepada karyawan
yang bersangkutan adalah (dengan perhitungan secara proporsional)
berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf b Permenaker 4/1994:
8 x Rp3.000.000 = Rp2.000.000
12
Jadi, besarnya THR yang wajib dibayar
oleh pengusaha kepada karyawan yang bersangkutan adalah Rp. 2.000.000. Apabila
kemudian dengan adanya SP yang bisa mengurangi jumlah THR yang seharusnya
diterima karyawan, misalnya karyawan mendapatkan SP 1 sehingga THR yang
seharusnya dipotong sebesar 20% menjadi Rp. 1.600.000, maka menurut hemat kami
hal itu sudah menyalahi aturan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b jo. Pasal 3
ayat (3) Permenaker 4/1994.
Jika karyawan keberatan atas kebijakan
pemotongan THR ini, maka karyawan dan pengusaha yang bersangkutan wajib
mengupayakan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan
musyawarah.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam
artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika THR Tidak
Dibayar Penuh, jika memang ada pelanggaran terhadap ketentuan
pembayaran THR ini, Anda dapat melaporkannya ke pegawai pengawas
ketenagakerjaan di Disnaker setempat (Pasal 9 ayat [1] Permenaker 4/1994)
karena THR merupakan hak Anda sebagai pekerja. Pelanggaran pengusaha dengan
tidak membayarkan THR sesuai ketentuan yang berlaku dapat dikenakan pidana
sesuai Pasal 8 Permenaker 4/1994 yakni berupa kurungan dan
denda.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Ttd, Ketua Umum DPP-SPAI, Jamali Burma
https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id
ATURAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN UPAH LINDUNGI BURUH
Menurut pemerintah Pasal 169 ayat (1) huruf c
merupakan norma yang jelas dan tidak memerlukan penafsiran lain.Aturan keterlambatan pembayaran upah lindungi
buruh. Foto: SGP
Pasal 169 ayat (1)
huruf c UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditujukan untuk melindungi
buruh/pekerja dalam hal pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya untuk
membayar upah tepat pada waktunya. Justru, tindakan pemohon yang menggugat ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) karena merasa upahnya tidak dibayar tepat
waktu telah sesuai dengan Pasal 169 ayat (1) hurud c itu.
Demikian pendapat
pemerintah yang disampaikan Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno dalam
sidang lanjutan pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan yang
dimohonkan Andriyani di gedung MK Jakarta, Kamis (3/11).
Pasal 169 ayat
(1) huruf f menyebutkan pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan….. (c) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah
ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Sunarno
menegaskan Pasal 169 UU Ketenagakerjaan telah memberikan keseimbangan antara
pekerja dan pengusaha dalam hal terjadi PHK. Pekerja/buruh dapat mengajukan PHK
jika pengusaha melakukan berbagai tindakan kepada pekerjanya. Diantaranya,
menganiaya, mengancam, menghina secara kasar, menyuruh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang, tidak membayar upah tepat waktu selama tiga
bulan berturut-turut atau lebih.
Terkait
gugatan pemohon yang ditolak PHI Jakarta, kata Sunarno, lebih pada persoalan
penerapan/implementasi norma yang diuji, bukan persoalan konstitusionalitas
keberlakuan norma. “Seharusnya yang dilakukan pemohon mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (MA) disertai tuntutan denda atas keterlambatan pembayaran upah
sesuai PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, bukan ke MK,” sarannya.
Menurutnya,
Pasal 169 ayat (1) huruf c merupakan norma yang jelas dan tidak memerlukan
penafsiran lain. Jika pengujian pasal itu dikabulkan MK justru akan menimbulkan
kerugian bagi buruh/pekerja karena tidak ada kepastian hukum sampai kapan dan
berapa lama pekerja/buruh menunggu hak upah yang belum dibayar perusahaan. “Karena
itu, Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945.”
Sebagaimana
diketahui, Andriyani menguji Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan lantaran
gugatan PHK ditolak PHI Jakarta dengan alasan upah yang terlambat sudah dibayar
perusahaan sejak persoalan ini diadukan ke Sudinakertrans Pada Desember 2010. Andriyani adalah karyawan
swasta yang pernah bekerja di PT Megahbuana Citramasindo (PJTKI) sejak 2
Januari 1998 sebagai staf pengadaan tenaga kerja. Namun, sejak bulan Juni 2009
hingga November 2010 pembayaran upahnya sering mengalami keterlambatan.
Sejak perusahaan membayar upah itu hak mengajukan PHK menjadi
hilang. Hal ini mengakibatkan hubungan kerja menjadi tidak harmonis. Menurut
pemohon pasal itu dapat sengaja disalahgunakan perusahaan agar pekerja/buruhnya
mengundurkan diri karena tidak mampu bertahan diberikan upah yang tidak tepat
waktu.
Untuk itu, pemohon meminta agar Pasal 169 ayat (1) huruf c UU
Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tidak membayar upah tepat pada waktu yang
telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih” bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ttd, Ketua Umum DPP-SPAI, Jamali Burma
https://serikatpekerjaacehindonesia.blogspot.co.id
APA SAJA HAK KARYAWAN YANG DI PHK MENURUT UU KETENAGAKERJAAN ?
Apa saja hak-hak karyawan yang di PHK oleh perusahaan? Berikut ini penjelasan mengenai hak-hak
karyawan yang mendapatkan PHK oleh perusahaan.
Jangan Pasrah Jika di PHK, karena Karyawan Memiliki Hak-Hak
Dalam dunia bisnis,
perusahaan sering kali melakukan PHK kepada karyawan. Hal ini diakibatkan
karena performa kerja karyawan atau kondisi bisnis perusahaan. Kira-kira apa
yang seharusnya diterima oleh karyawan yang di PHK oleh perusahaan?
Menurut Undang-Undang
No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) terdapat tiga
jenis pesangon yang harusnya diterima karyawan yang di PHK. Anda dapat
mendownload UU Ketenagakerjaan di sini.
Berikut ini petikan dari pasal 156 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 156
1.
Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Hak Karyawan
1: Uang Pesangon
Perusahaan yang
melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang pesangon seperti yang
terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 2, dengan aturan sebagai
berikut:
Masa
Kerja (Tahun)
|
Uang
Pesangon
|
< 1 tahun
|
1 bulan gaji
|
≥1 – 2 tahun
|
2 bulan gaji
|
≥2 – 3 tahun
|
3 bulan gaji
|
≥3 – 4 tahun
|
4 bulan gaji
|
≥4 – 5 tahun
|
5 bulan gaji
|
≥5 – 6 tahun
|
6 bulan gaji
|
≥6 – 7 tahun
|
7 bulan gaji
|
≥7 – 8 tahun
|
8 bulan gaji
|
≥8 tahun
|
9 bulan gaji
|
Contoh: Pak White,
terkena PHK setelah 15 tahun bekerja di perusahaan. Gaji terakhir Pak White di
perusahaan adalah Rp 10.000.000 (gaji pokok dan segala macam tunjangan). Berapa
uang pesangon yang diterima pak White? Berdasarkan tabel di atas, maka
uang pesangon yang diterima Pak White adalah 9 x 10.000.000 = Rp
90.000.000.
Hak
Karyawan 2: Uang Penghargaan Masa Kerja
Perusahaan
yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang penghargaan masa
kerja seperti yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156
ayat 3, dengan aturan sebagai berikut:
Masa
Kerja (Tahun)
|
Uang Penghargaan
Masa Kerja
|
≥3 – 6 tahun
|
2 bulan gaji
|
≥6 – 9 tahun
|
3 bulan gaji
|
≥9 – 12 tahun
|
4 bulan gaji
|
≥12 – 15 tahun
|
5 bulan gaji
|
≥15 – 18 tahun
|
6 bulan gaji
|
≥18 – 21 tahun
|
7 bulan gaji
|
≥21 – 24 tahun
|
8 bulan gaji
|
≥24 tahun
|
10 bulan gaji
|
Contoh:
Melanjutkan kasus pak White, berapa tunjangan uang penghargaan masa kerja yang
diterima Pak White? Berdasarkan tabel di atas, maka uang penghargaan masa kerja
yang diterima Pak White adalah 6 x Rp 10.000.000 = Rp 60.000.000
Hak
Karyawan 3: Uang Pengganti Hak yang Seharusnya Diterima
Selain
kedua hak tersebut, menurut UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3 terdapat juga
uang pengganti hak yang seharusnya diterima, seperti:
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
- penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Peraturan Tambahan Mengenai Hak Karyawan
yang di PHK:
Karyawan
tidak berhak mendapatkan uang pesangon jika:
- Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha. (Pasal 167 ayat 1 UU Ketenagakerjaan).
Perusahaan
harus bayar 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja dan
uang pengganti hak, jika:
- PHK, karena pekerja atau karyawan yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan dan sudah mendapat 3 kali peringatan berturut-turut (Pasal 161 UU Ketenagakerjaan).
- Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. (Pasal 163 UU Ketenagakerjaan).
- perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun dan telah di audit oleh akuntan publik (Pasal 164 UU Ketenagakerjaan ayat 1).
- perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur) (Pasal 164 UU Ketenagakerjaan ayat 1).
- Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit (Pasal 165 UU Ketenagakerjaan ayat 1).
Perusahaan
harus bayar 2 kali uang pesangon jika:
- Perusahaan tutup yang disebabkan bukan karena kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan keadaan memaksa (force majeur) (Pasal 164 UU Ketenagakerjaan ayat 3).
- Pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun (Pasal 167 ayat 5 UU Ketenagakerjaan).
- Pemutusan hubungan kerja yang diminta oleh pekerja atau buruh dengan alasan : menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh, membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh, memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan aray memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. (Pasal 169 ayat 1 dan 2UU Ketenagakerjaan).
- Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja. (Pasal 172 ayat 1 dan 2UU Ketenagakerjaan).
Menurut Anda sebaiknya uang pesangon digunkan untuk apa?
Oleh
: Ketua Umum DPP-SPAI, Jamali Burma
https://serikatpekerjaacehindonesia.co.id